Sabtu, 30 Agustus 2014

Review 2014 # 49: Wedding Manual Book

              Sudut bumi, 20XZ

Cintaku
Belahan jiwaku
Tak terasa sudah mendekati akhir bulan Agustus. Artinya kian mendekati saat sebuah kesepakatan besar yang akan kita sepakati bersama. Bagaimana juga hasilnya kelak, semuanya didasari atas keinginan untuk mendapatkan yang terbaik bagi diri kita.

Bagaimana khabarmu disana? Golf, hobi barumu rupanya cukup menyita waktu sehingga jarang membuatmu istirahat total. Apapun itu, ku tahu kau pasti bisa menjaga diri dan membagi waktu dengan baik.

Jumat yang lalu, sebuah paket  buku mendarat di kantor. Saat kubuka, salah satu isinya membuatku tersenyum. Pertandakah ini? Entahlah. Namun bagaimana kelak, menurutku informasi mengenai buku ini perlu dibagikan bagi banyak orang. Karena hal kecil sekalipun bisa membuat riak dalam sebuah rumah tangga.

Masih ingatkah ucapan seperti ini?
 
Ampun.....! Tinggal 2 bulan lagu gue merit, busyet belum beres juga  persiapan.

Mampus gue! Kelupaan bikin foto prewed, mana undangan banyak belum dikirim. Gimana nih........!

Nyesel banget pakai jasa  ketering XXX makanan kurang, rasa ngak enak, mana bayarannya mahal lagi.

Beberapa sahabat kita pernah mengucapkan kalimat sejenis. Maknanya mereka merasa kesulitan saat mempersiapkan pernikahan. Tidak hanya mempersiapkan diri secara mental, namun urusan lain juga membutuhkan perhatian, misalnya urusan baju pengantin, jumlah undangan hingga urusan parkir tamu. 

Bahkan ada yang sudah melaksanakan pesta pernikahan tapi meredam kecewa karena beberapa pilihan pelayanan seperti katering, jasa dekorasi tidak sesuai dengan keinginan. kekecewaan tersebut tersimpan dalam kurun waktu yang lama.

Buku yang aku terima sepertinya bisa membantu mereka yang akan mempersiapkan pernikahannya. Mungkin juga bisa membantu kita kelak, siapa yang tahu.

Judul: Wedding Manual Book
Penulis: Nurul Fithrati & Launa Wedding Organizer
Penyunting: Fitria Pratiwi
Pendesain Sampul: RNuruli
Penata Letak: RNuruli
Ilustrator Sampul: Illa Chungurov & Iyeyee
Ilustrator Isi: Ivana Forgo, Pixejoo & RNuruli 
ISBN: 979-065-221-6
 

Halaman:  256
Penerbit: VisiMedia Pustaka

Menilik judulnya, bisa ditarik keseimpulan singkat bahwa buku ini berisi tentang panduan untuk mempersiapkan sebuah pernikahan. Meskipun kedengarannya merupakan kalimat sederhana, tapi ternyata sebuah pesta pernikahan membutuhkan persiapan yang cukup banyak. Juga biaya yang tak sedikit.

Tidak mau repot, atau tidak tahu harus bagaimana merupakan keadaan yang paling sering dihadapi oleh pasangan pengantin.  Itu yang membuat berjamurnya W.O dan W.P. Kedua kata tersebut W.O  alias Wedding Organizer serta W.P alias Wedding Planner sering kali ditulis dalam buku ini. Namun mengenai apa itu sebenarnya W.O dan W.P, apa perbedaannya,  tidak ku temukan dalam buku ini, Mungkinkah aku yang terlalu bersemangat membaca sehingga kurang konsen? Tapi secara singkat bisa ditarik kesimpulan jika W.O membantu merencanakan hingga melaksanakan pesta, sementara W.P hanya membantu menyusun rancangan saja.

Secara garis besar ada beberapa hal yang perlu mendapat perhatian khusus dalam rangka mempersiapkan pernikahan, diluar persiapan mental  tentunya.  Calon pengantin perlu memberikan perhatian pada urusan busana pengantin dan rias wajah, dekorasi pelaminan dan lokasi tempat dilangsungkannya akad nikah dan pesta, mengabadikan peristiwa dalam bentuk foto dan video serta foto-foto prewed, undangan dan terakhir souvenir. Tapi semuanya juga harus dipadukan dengan tema dan anggaran.

Misalkan saja tema yang dipilih adalah tentang buku, kalau yang ini sepertinya impian kita berdua he hehe. Maka banyak hal yang harus disesuaikan dengan tema buku, seperti baju, dekorasi, souvenir  dengan tentunya mempertimbangkan apakah anggaran sesuai atau tidak. Jika tidak maka perlu diadakan penyesuaian.
Contoh Anggaran Gaun Pengantin

Busana menjadi hal pertama yang dipersiapkan oleh calon pengantin. Karena mengambil tema buku tentunya busana bisa dibuat seperti pengantin pada umumnya, atau dibuat nyeleneh dengan membuat gaun dengan gambar judul buku. 

Sekali lagi awas, ingat biaya yang harus dikeluarkan.
Mungkin saja kita bisa mewujudkan gaun impian yang sesuai dengan tema tapi untuk urusan anggaran menjadi membengkak. Untuk itu harus disiati sehingga impian mempergunakan gaun pengantin impian bisa terwujud dengan biaya yang bersahabat. Jangan  seragam untuk keluarga inti pengantin, panitia dan tata riasnya. Semuanya juga harus sesuai dengan tema yang diusung.

Untuk dekorasi malah mudah, tinggal pasang gambar-gambar buku. Dalam kasus kita kelak, mungkin bisa kita pasang replika bukumu? Dengan patung angsa dan kijang sebagai tambahan dekorasi sesuai dengan tokoh yang ada dalam bukumu. Pasti seru hi hi hi.

Sementara bagi mereka yang tidak memiliki angan-angan tentang sebuah tema, bisa mempertimbangkan  dekorasi dan lokasi. Misalkan jika membuat acara di pinggir kolam dengan tema pesta kebun. Tema bisa berupa warna, misalnya Lady in Red. Atau dibuatkan  kisah dongeng ala Cinderella. Masih ingat saat salah satu pemain bulutangkis kita meraih piala olimpiade untuk pertama kali? Pernikahan mereka mengambil tema piala olimpiade dengan banyak unsur bulutangkis pada dekorasinya.

Beberapa contoh pelaminan dan pasangan pengantin juga terdapat dalam buku ini. Mungkin mereka adalah pengguna jasa W.O sang penulis. Akan lebih manis jika tercantum nama pengantin sebagai pelengkap ucapan terima kasih. Pengantin yang namanya tertulis akan berasa bangga dan memberikan rekomen W.O tersebut bagi mereka yang akan menikah. Selain membina hubungan, promosi sudah bisa diraih. Atau diambil secara resmi dari situs yang disebut di depan?

Cintaku
Belahan jiwaku 
Untuk urusan undangan sepertinya para calon pengantin harus memperhitungkan dengan tepat jumlah orang yang diundang dan akan hadir, hal ini untuk mempersiapkan kapasitas lokasi dan jumlah konsumsi yang harus dipesan.
Anggaran Selamatan Sederhana

Misalkan aku mengundang rekan-rekan dari penerbit X maka aku harus memperhitungkan dari penerbit X kira-kira akan datang berapa orang. Dari satu undangan bisa saja yang datang ada 10 orang. Lalu dirimu mengundang rekan-rekan dari tempat latihan dansa, bisa jadi dari 25 orang jadi sekitar 50 karena mereka mengajak pasangannya masing-masing. Bayangkan dari 2 undangan yang dianggap adalah 4 orang bisa menjadi 60 orang.  Sangat tidak diharapkan karena salah perhitungan mengakibatkan kekurangan makanan dan suasana menjadi sesak akibatnya membuat tidak nyaman para tamu yang hadir.

Meski kelihatannya kecil, urusan souvenir pernikahan juga harus mendapat perhatian. Masih ingatkah dirimu seringnya beberapa sahabat mengintip koleksi souvenir pernikahanku? Mereka umumnya ingin memberikan sesuatu yang berbeda. Aneh memang tapi jika diperhatikan bahkan souvenir pun ada musimnya. Suatu saat aneka kipas menjadi souvenir, lain waktu tempat lilin atau notes kecil. Biasanya mereka memilih sesuatu yang bisa merepresentasikan dirinya. Manfaat juga menjadi alasan pilihan. Memberikan souvenir berupa barang yang bisa bermanfaat akan membuat souvenir tersebut disimpan lebih lama. Pengantin berharap melalui souvenir tersebut pesta pernikahan mereka akan lebih lama dikenang.

Hal lain yang walau bukan merupakan hal utama namun harus mendapat perhatian ekstra dari sisi pengaman, tempat amplop hadiah bagi sang pengantin. Kita sepakat ini memang bukan proyek untung rugi, berapa pun yang diterima sebagai hadiah wajib disyukuri. Namun beberapa kisah sahabat yang menceritakan kehilangan 1 buah tempat amplop sungguh miris. Pihak pengantin pria mengira sosok berbaju batik dengan menggunakan lambang panitia dikira kerabat pengantin wanita, sementara pihak keluarga mengira sebaliknya. Untuk itu, bunga atau pita lambang panitia memang sebaiknya dibagikan oleh orang yang mengenal keluarga kedua belah pihak, atau dibagikan bersama untuk menghindari kekpnyolan seperti itu. Bahkan ada yang tetap meninggalkan kotak tempat uang berisi batu dan mengambil isinya. Maling memang punya 1001 akal. 
  Secara garis besar buku ini sangat perlu dimiliki dan baca bagi mereka yang sudah memutuskan untuk menikah. Pedoman-pedoman yang diberikan sangat membantu menentukan langkah dalam melaksanakan persiapan. Beberapa hal yang sebaiknya tidak dilakukan oleh pasangan calon pengantin juga bisa ditemukan dalam buku ini. Hal tersebut dimaksudkan untuk mensukseskan acara. 

Pada halaman 156 contohnya. Ada beberapa hal yang sebaiknya jangan dilakukan calon pengantin saat mendekati hari bersejarah dalam hidupnya. Antara lain jangan melakukan diet berlebihan karena hal ini justru membuat calon pengantin justru menderita lemas atau bahkan jatuh sakit. Atau jangan melakukan perawatan wajah/facial sehari sebelum hari H, karena jika ada alergi akan sulit mengatasinya. Ingin tampil cantik memang sudah kodrat, tapi kadang juga harus memperhatikan hal lain.
 
Untuk urusan ilustrasi isi, buku ini sangat memanjakan mata. Aneka ilustrasi menawan dan halaman berwarna membuat buku ini makin menarik. Warna-warna yang berbeda memudahkan pembaca memahami mana bagian yang merupakan tips, mana yang uraian serta mana yang merupakan list yang harus diperhatikan saat pelaksanaan.
Form order WO

Sayangnya buku ini tidak memberikan CD berisi aneka list yang harus diperhatikan bagi calon pengantin, juga tugas bagi panitia dan lainnya. Dari pada panitia mengetik ualng tentunya akan lebih memudahkan jika bisa langsung edit dan  mencetak. Padahal buku terbutan Visimedia yang ku terima terdahulu memberikan bonus CD yang sangat membantu pembaca mempraktekan isi buku.

Dalam buku ini, penulis juga memberikan pertimbangan apakah akan menggunakan jasa W.O atau akan mengatur sendiri seluruh acara. Pertimbangan urusan anggaran. tenaga dan waktu merupakan point yang harus diperhatikan. Jadi tidak harus mempergunakan W.O, semuanya tergantung pada kesepakatan kedua keluarga pengantin dan kesanggupan kedua pengantin sendiri.

Buku tentang bagaimana mempersiapkan pernikahan dari banyak sisi seperti mempersiapkan gedung, kompromi adat, biaya dan lainnya sudah bisa kita temui di toko buku. Baik dalam bahasa Indonesia atau bahasa asing.  Tapi  yang khusus membahas tentang calon pengantin Islami belum banyak dibahas. Konon penulis menerbitkan buku ini karena kecewa akan pengaturan saat pernikahannya. Dari dandanan yang medok hingga tetap memakaikan sanggul membuatnya sadar akan kebutuhan W.O Islami. Maka akan lebih menarik jika buku ini dijadikan sebagai Wedding Manual Book Muslimah.

Namun jika penulis buku ini adalah pemilik W.O Muslimah, kenapa gambar depannya tidak mencerminkan sisi dari apa yang selama ini digelutinya. Menilik baju yang dikenakan model, sepertinya merupakan baju tak berlengan. Mungkin lebih bagus jika gambar diubah dengan tidak mengusung sosok pengantin. Misalnay cukup difokuskan pada bunga saja atau hantaran .

Entah kurang teliti membaca, tapi  tidakku temukan web atau link mengenai W.O milik sang penulis, Launa Wedding Organizer. Selaku penulis dan pemilik W.O tak ada salahnya jika mencantumkan web atau link agak para calon pengantin bisa lebih mendapat gambaran mengenai apa saja yang harus mereka lakukan. Juga jika ada calon pengantin yang terdesak waktu, mereka bisa langsung bisa menghubungi W.O tersebut. Plus anggaplah ini merupakan sebuah ajang promosi. Terlepas urusan jadi tidaknya jasa mereka dipakai.

Cintaku
Belahan jiwaku 
Meski bukan pertimbangan utama, sekali lagi urusan anggaran harus diperhatikan dengan seksama.  Sungguh tidak elok jika selesai menggelar pesta, ternyata pundi-pundi uang keduanya hanya berisi beberapa lembar uang saja. Lebih celaka jika malah menimbulkan hutang.

Membuat sebuah pesta pernikahan yang sempurna dimata tamu undangan sungguh perbuatan yang sia-sia. Kadar sempurna bagi setiap orang tidaklah sama. Terpenting justru sepasang pengantin merasa bahagia akan pesta yang digelar dan menerima kekurangan dengan lapang dada, menjadikannya sebagai rangkaian dari kenangan indah.


Bagaimana juga, buku ini hanya memberikan paduan mempersiapkan pesta pernikahan. Kembali semuanya berpulang pada sang pengantin dan keluarganya. Pernikahan tidak saja menyatukan dua hati, tapi juga menyatukan dua keluarga besar dengan segala kelebihan dan kekurangannya.

Tak heran dahulu para sesepuh sering melarang calon pengantin bertemu sebelum hari pernikahan karena bisa berakibat batalnya pernikahan tersebut. Mengingat begitu banyak tekanan yang didapat bukan tidak mungkin terjadi benturan diantara kedua calon pengantin. Jika tidak disikapi dengan sabar, benturan tersebut bisa mengakibatkan fatal. Ego kedua calon pengantin bisa berbenturan. Alih-alih menggelar pesta pernikahan, justru putusnya hubungan yang didapat akibat tekanan mempersiapkan pesta yang sempurna. Tragis. Memadu kasih sekian lama justru berakhir disaat perjuangan kasih mereka hampir mencapai tujuan.

Berharap engkau bisa menikmati buku ini. 
Minimal membagikan pengetahuan bagi mereka yang membutuhkan, sebelum kita juga membutuhkannya.Mungkin.
Akan kukirim segera bersama hatiku.

Big hug

TR


































Senin, 25 Agustus 2014

Review 2014 #48: Sastra Moderen: Warisan


Judul: Warisan
Penulis: Ajatrohaedi
Gambar Kulit: Zainal Z
Halaman: 15
Penerbit: Balai Pustaka


Unik kover buku ini!
Kesan pertama saat melihat buku ini diantara buku-buku yang sedang menjalani proses rekatalogisasi di kantor. Butuh sedikit rayuan dan janji dipinjam tidak lama untuk bisa membawa buku ini ke meja saya.

Sepertinya teman-teman saya sudah cukup maklum kegilaan saya pada buku. Mereka juga sangat tahu kecepatan saya membaca sehingga berani meminjamkan sebuah buku yang sedang diolah. Asyik dapat bacaan ringan!

Buku ini terbit pada tahun 1965, maka ejaan yang dipergunakan adalah ejaan lama. Huruf "y" ditulis "j", huruf "c" ditulis "tj" beberapa hal seperti itu membuat saya tertawa kecil saat membaca buku ini.Meski begitu tidak mengurangi kenikmatan saya membaca Sering kali menemukan buku dengan gaya penulisan lama seperti ini membuat saya jadi lebih mudah membaca.

Kisahnya tentang seorang anak laki-laki yang hanya dua kali bertemu dengan kakek dari pihak ibunya. Pertemuan pertama saat berusia sekitar sepuluh tahun pada saat sang ibu menikah lagi. Sosok lelaki bersahaja dengan peci haji putih bertengger di kepala dan menggunakan sarung Pekalongan. Sarung dagangannya sendiri. Sang kakek berprofesi sebagai pedagang.

Pertemuan kedua entah kapan tepatnya. Bocah lelaki itu hanya ingat ia berusia semitar tiga belas tahun, duduk di bangku Sekolah Menengah Pertama. Jika pada pertemuan pertama ia sungkan mendekat, maka pada pertemuan kedua tidak diulanginya kesalahan yang sama.

Sang kakek memang jarang berada diantara ibu dan dirinya. Hal tersebut dikarenakan ia dan nenek tokoh kita sudah bercerai. Pandangan orang pada saat itu berbeda dengan sekarang. Seseorang yang sudah bercerai dianggap tidak pantas, tidak sopan, berada lama dalam sebuah rumah yang sama, bahkan jika itu untuk mengunjungi sanak saudaranya sekalipun.

Meski jarang bertemu, sang kakek sering memberikan hadiah bagi bocah itu. Biasanya berbentuk sarung Pekalongan. Mukanya sarung kecil, lama-lama menjadi sarung untuk orang dewasa. Bocah itu mempergunakannya untuk mengaji dan menjadikannya selimut di malam hari. Meski ia tak bisa memeluk sang kakek, biarlah ia memeluk selimut pemberian sang kakek sebagai pengobat rindu.

Sepertinya juga setiap makhluk hidup yang lain, sang kakek meninggal di Pekalongan. Maka seluruh keluarga pergi ke Pekalongan untuk menemukan sebuah kuburan yang masih merah tanahnya. Bocah laki-laki itu tertunduk bukan untuk membacakan doa di pusara sang kakek, tapi untuk mengingat-ingat bagaimana wajahnya. Wajah yang hanya dua kali dilihatnya.

Meski hanya bertemu dua kali sang kakek ternyata tidak melupakan cucunya. Ia meninggalkan warisan bagi cucunya. Warisan tersebut mungkin tidak sesuai dengan kebutuhan sang cucu atau bukan barang yang disukai sang cucu. Namun yang terpenting bagi sang cucu itu adalah wujud sayang sang kakek pada dirinya.

Kisah ini memang sangat pendek, hanya terdiri dari 15 halaman. Ukuran bukunya juga kecil dengan panjang sekitar 17,5 cm dan lebar 12 cm menjadikan buku ini mudah dibawa-bawa. Namun isinya tidak bisa dibilang kecil.  Penulis begitu piawai memainkan perasaan pembaca. Rasa sedih bocah laki-laki itu bisa dirasakan melalui ungkapan kata-kata yang diuraikan penulis. Begitu juga rasa bahagia saat menerima hadiah sarung.

Meski kisahnya indah namun beberapa kalimat agak aneh bagi saya.  Misalnya kalimat yang ada di halaman 5-6, "... aku pulang bermain-main, kulihat banyak benar orang  dirumah... Dan akupun tahulah, apa makna semuanja itu. Ibu telah punja suami laki, dan aku punja tambahan seorang ajah." Biasanya saat akan melangsungkan pernikahan tentu butuh persiapan dalam banyak sisi, apa lagi mengingat ini bukan perkawinan yang pertama bagi ibu dari tokoh kita. Bukannya sang ibu harus memberi tahu perubahan kondisi tersebut pada sang anak? Walau usianya baru  jalan sepuluh tapi ia berhak tahu akan ada hal yang berubah dalam kehidupannya, yaitu memiliki ayah tiri. Aneh buat saya sang anak yang baru pulang bermain menemukan akan ada upacara pernikahan di rumahnya sementara ia sendiri tidak tahu. Alih-alih diam di rumah ia malah pergi bermain.

Bagaimana penulis mendiskripsikan sang kakek juga membuat kedua alis saya bertemu. Peci haji putih yang ada dibenak saya berbeda dengan visualisasi pada kover. Apakah mungkin versi peci haji pada tahun buku ini trebit berbeda dengan saat ini? Tapi minimal ada kesamaan. Bagi saya yang ada di kepala sang kakek pada kover lebih mirip surban.

Terlepas dari kekurangan yang ada, buku ini mengajarkan pembaca untuk tetap mencintai keluarga bahkan yang jarang atau tidak pernah ditemui sekalipun.

Menawan.

Minggu, 24 Agustus 2014

Review 2014# 47: Max Havelaar


Penulis: Multatuli
Penerjemah: Inggrid Dwijani  Nimpoeno
Penyunting: Susanti Priyandari
ISBN: 978-602-1637-45-6
Halaman: 480
Penerbit: Qanita

Membaca buku  Max Havelaar mungkin belum banyak dilakukan orang, Tapi minimal ada yang pernah mendengar atau membaca  bahkan menonton  kisah tentang Saidjah dan Adinda, yang merupakan bagian dari  buku ini.

Kisah ini ditulis  oleh Eduard Douwes Dekker, mantan Asisten  Residen Banten Kidul/Banten Selatan (penduduk pribumi menyebuknya Lebak), pada abad ke-19. Ia menggantikan petugas sebelumnya yang meninggal terbunuh. Sebelumnya, Havelaar bertugas sebagai Asisten Residen di Natal (sekarang masuk Provinsi Sumatra Utara). 

Meski merupakan pejabat pemerintah namun ia menentang sistem tanam paksa. Sistem tanam paksa yang diterapkan oleh pemerintah Belanda mengusik hatu nuraninya. Menurutnya sistem tersebut membuat pribumi menderita. Penindasan. Pengalaman selama di Sumatra serta pengamatannya di Banten diceritakan kembali dengan mempergunakan nama Multatuli.

Nama pena Multatuli diartikan sebagai aku yang menderita. Hal tersebut dipakai karena ia meneriakan penderitaan rakyat. Penyebab rakyat menderita tidak saja karena pemerintah Belanda tapi juga karena sifat arogansi para pejabat pribumi yang kurup.Pemerintah Belanda bukan tidak mengetahui hal tersebut. Mereka lebih bersikap menfaatkan kelakuan para penguasa setempat bagi kepentingan pemerintah. 

"Di setiap departemen, asisren residen dibantu oleh seorang pejabat pribumi berkedudukan tinggi yang bergelar "bupati". Bupati walaupun hubungannya dengan pemerintah dan departemennya adalah sebagai pejabat bayaran; selalu berasal dari golongan bangsawan tinggi di daerahnya, dan sering kali dari keluarga pangeran yang telah menerintah wilayah itu atau daerah sekitarnya sebagai penguasa independen. Politik Belanda memang menanfaatkan pengaruh feodal kuno pangeran-pangeran, yang di Asia pada umumnya sangat besar dan dipandang oleh sebagian besar suku sebagai bagian dari agama mereka." (halaman 81)

Pendapatan pembesar Jawa juga tergantung dari empat hal yang secara tidak langsung membuat Belanda bisa campur tangan. Pertama mereka mendapat upah bulanan; kedua sejumlah tetap penggantian pembelian hak-hak mereka oleh pemerintah Belanda; ketiga premi dari hasil produksi kabupaten mereka; terakhir penggunaan tenaga dan harta rakyat mereka secara sewenang-wenang.

Unsur keempat yang paling menonjol dalam kisah Saidjah dan Adinda. Dengan semena-mena penguasa merebut kerbau yang dipergunakan untuk membajak sawah. Keluarga keduanya memang hanya rakyat biasa. Menolak membuat mereka dihukum, membiarkan sawah tanpa kerbau akan membuat mereka tidak bisa memanen tanaman yang wajib ditanam. Serba salah.

Bagian  dari buku yang memuat drama tentang Saijah dan Adinda merupakan yang sangat menyentuh hati pembaca, sehingga sering kali dikutip dan menjadi topik untuk dipentaskan di panggung. Konon film tersebut tidak diperbolehkan untuk ditayangkan di Indonesia sampai tahun 1987.

Kisah Saidjah dan Adinda pertama kali saya baca melalui sebuah cergam anak-anak. Sebagai seorang anak berusia 9 tahun membaca kisah tersebut membuat saya berada dalam persimpangan bathin. Di sisi yang lain saya bersyukur karena berada dalam keluarga yang tidak harus menderita, jika hidup di zaman itu. Tapi, sisi lain membuat saya malu. Sungguh memalukan kelakuan kaum saya pada zaman itu. Menindas rakyat yang seharusnya kita bela, mengikuti petuah Eyang saya. 
.Secara garis besar buku ini sangat berguna bagi mereka yang ingin mengetahui sejarah perjuangan bangsa dan bagaimana kehidupan masyarakat kita pada zaman tanam paksa. Khususnya masyarakat di daerah Lebak. 

Bahasa yang dipergunakan juga mudah dicerna namun menyentuh. Penerjemah sudah sangat berhasil memilih kata yang tepat. Saya yang tidak menyukai kisah sejarah bisa memahami apa yang dipaparkan. Di lain saat begitu  terhanyut akan amarah dan kepedihan ketika membaca sebuah bagian.

Misalnya  halaman 397 yang mengisahkan saat Saidjah bergabung dengan lelaki Badur, bukan untuk bertempur melawan Belanda tapi mencari Adinda belahan jiwanya. "Dia berkeliaran seperti hantu di antara rumah-rumah yang belum terbakar, dan menemukan mayat ayah Adinda dengan luka bayonet di dada. Di dekatnya Saidjah melihat tiga adik laki-laki Adinda yang terbunuh, masih muda-masih anak-anak. Sedikit lebih jauh lagi tergeletak mayat Adinda, teraniaya secara mengerikan... Secarik kecil kain biru menembus luka menganga di dadanya, luka yang tampaknya mengakhiri pergulatan panjang...

Hanya butuh satu bulan untuk menuntaskan buku ini. Judul asli buku ini adalah Max Havelaar of de Koffijveilingen der Nederlandsche Handelmaatschappj diterjemahkan menjadi Max Havelaar Lelang Kopi Persekutuan Dagang Belanda. Sejak  diterbitkan pada tahun 1860, kisah ini telah diterjemahkan dalam banyak bahasa. HB. Jassin menerjemahkan karya ini dari bahasa Belanda ke bahasa Indonesia pertama kali tahun 1972.

Bagi yang ingin mengetahui tentang kisah ini, silahkan mengunjungi http://readingmultatuli.blogspot.com/2011/05/oleh-ragil-nugroho-1-sastra-yang.html

...
Nanti bangkehku di liat bidari,
Pada saudarah menunjuk jari,
Liat di lupa seoraang mati,
Mulutnya kaku cium bunga melati,
"Mari kit 'angkat ia di saorga,

"Nyang sampeh matti nanti Adinda
"Jangan sungoh tingal di situ
"Nyang punya hati cinta begitu".-
Dan seklali mulutku buka
Panggil Adinda nyang hatiku suka;
Cium lagi sekali melati bunga
Dia nyang kassi-Upi Adinda!
(Lampiran 2 dari buku)

Sumber Gambar:
http://id.wikipedia.org/wiki/Max_Havelaar
http://engkongyudo.wordpress.com/2012/02/26/max-havelaar-sebagai-bentuk-komunikasi-politik/

Sabtu, 23 Agustus 2014

Review 2014 #46 : Suske & Wiske: Setengah Havelaar

Pencipta tokoh: Willy Vandersteen
Penulis kisah: Peter Van Gucht
Ilustrasi: Luc Morjaeu
Alih bahasa: drg. Shantina Dewi Setyadharma
Editor: Maria Adisrstika & Aryaguna Setiadi
Desain sampul: @Bach
ISBN: 9786020015675
Halaman: 48
Penerbit: PT Elex Media Komputindo
Harga: Rp. 30.000


Kata Havelaar yang membuat saya tertarik pada buku ini. Havelaar atau tepatnya Max Havelaar  merupakan sebuah novel karya Multatuli nama pena dari  Eduard Douwes Dekker. Novel ini pertama kali terbit pada tahun 1860 dan  diakui sebagai karya sastra Belanda yang sangat penting karena memelopori gaya tulisan baru. Karena versi terjemahan yang saya miliki masih berada dalam tumpukan untuk dibaca, maka buku ini saya anggap sebagai pengantar sebelum membaca yang saya miliki tersebut.

Selanjutnya tokoh sepasang remaja yang berayun dengan tali dari jendela di kover. Sosoknya membuat saya teringat pada tokoh Yo dan Susi  Legrand dalam cergam Petualangan Yo, Susi dan Yokko. Dua sosok remaja yang tak kenal takut dan gigih menghadapi banyak bahaya. Lalu ada sosok dengan kepala yang banyak membuat saya teringat pada tokoh dalam kisah pewayangan, Rahwana. 

Jadi ada Murtatuli,Yo dan Susi  Legrand, lalu Rahwana. Kira-kira keseruan kisah apa yang bisa kita dapati? Nama sang penulis, Willy Vandersteen kurang begitu saya kenal. Tapi jika sang penulis berasal dari negeri yang sama dengan Om Harge maka sepertinya saya perlu memberikan kesempatan untuk buku ini, apa lagi harganya juga terjangkau. Pindahlah buku ini dalam keranjang belanja saya.

Disebutkan Wiske mendapat tugas untuk mempresentasikan sebuah topik. Masukan dari keluarga  membuatnya memutuskan untuk membuat  presentasi tentang kopi. Lalu ia mencari informasi tentang perkebunan kopi pada zaman kolonial Hindia-Belanda. Sayangnya foto-foto yang ia temukan kebanyakan hitam putih sementara Wiske lebih menyukai foto berwarna.

Maka timbul ide untuk mengunjungi perkebunan kopi langsung zaman kolonial Hindia-Belanda dengan mempergunakan mesin telewaktu. Untuk amannya ia mengajak Suske. Mesin telewaktu yang mereka pergunakan adalah milik Profesor Barabas. Tidak disebutkan siapa profesor itu dan bagaimana bisa membuat mesin waktu. Singkatnya pembaca harus menerima fakta mereka mempergunakan mesin telewaktu milik Profesor Barabas.

Dengan memakai pakaian pinjaman dari teater amatir setempat mereka menempuh perjalanan menuju zaman kolonial Hindia-Belanda. Mereka tiba di perkebunan kopi yang sangat luas di Pulau Jawa tahun 1858. Suske segera mengumpulkan informasi dengan bertanya pada para petani sementara Wiske memotret.

Suske dan Wiske tanpa sengaja berada pada saat sekelompok utusan menguasa mengambil paksa kerbau yang dipergunakan petani untuk bekerja. Mereka yang tidak tahu situasi dan kondisi berusaha membantu sang petani mempertahankan kerbau walau akhirnya harus merelakan kerbau diambil paksa.

Mereka tidak saja mendapat pengetahuan tentang kopi tapi juga tentang bagaimana situasi masyarakat. Mereka bekerja tanpa dibayar bahkan dipaksa menanam tanaman tertentu. Jika dibutuhkan kerbau mereka bisa saja diambil tanpa dibayar sebagai bukti menghormati atasan, menolak adalah hal tabu. Sungguh kondisi yang memprihatinkan.

Keduanya mendapat informasi bahwa ada juga orang bule-sebutan bagi orang kulit putih atau keturunan asli Eropa atau berkulit terang,  yang ikut menyuarakan ketidakadilan di sana. Namanya Eduard Douwes Dekker seorang Asisten Residen Provinsi Lebak.

Eduard Douwes Dekker merasa tidak suka dengan ketidakadilan yang terjadi di Lebak, maka ia membuat sebuah buku guna menyampaikan keperduliannya. Hal tersebut membuat ia berada dalam kondisi yang membahayakan, bahkan menjadi korban serangan atas dirinya. Untuk itu ia ingin mengirim naskah yang ditulis pada Droogstoppel seorang pedagang kopi teman sekolahnya dulu.
 
Suske & Wiske yang ikut prihatikan akan kondisi masyarakat setempat menawarkan diri untuk membantu mengantarkan naskah tersebut.Misi semula yang hanya ingin mengumpulkan data untuk bahan presentasi berubah menjadi sebuah misi khusus. Selanjutnya mereka tanpa sadar terseret dalam bahaya.

Dalam perjalanan mereka harus menghadapi aneka bahaya dari banyak pihak yang tidak ingin keburukannya terungkap. Bahkan mereka harus berhadapan dengan gerombolan Rahwana yang terkenal kejam. Musuh mengincar naskah dan sangat ingin menghancurkannya. Suske dan Wiske harus berusaha keras agar naskah tersebut tidak jatuh ke tangan yang salah.

Apakah Suske dan Wiske dapat menyelesaikan misi mereka?
Kenapa disebut setengah Havelaar?
Lalu bagaimana nasib presentasi Suske?
Lengkap dalam buku ini, dibaca ya....


Kisah ini bisa dikatakan terinspirasi dari kisah Max Havelaar. Jika Max Havelaar mengisahkan situasi dan kondisi perkebunan teh di Lebak-Baten, maka kisah dalam buku ini justru mengisahkan tentang bagaimana upaya sang penulis, Eduard Douwes Dekker  membawa naskah tersebut hingga sampai ke tangan teman sekolahnya.

Tokoh Rahwana merepresentasikan ketidakadilan, angkara murka, pendek kata seluruh kejahatan dan dosa di bumi.  Rahwana sering digambarkan memiliki  sepuluh kepala serta dua puluh tangan, hal tersebut menunjukkan kesombongan dan kemauan yang tak terbatas. Dalam buku Rahwama digambarkan berkepala lima, hal  ini melambangkan kebengisan para penguasa setempat.

Sang pembuatan cerita Willy Vandersteen (15 February 1913 – 28 August 1990) merupakan seorang komukus dari Belgia. Ia sudah mnerbitkan 1.000 komik dari 25 seri dan sukses menjual 200 juta eksemplar di seluruh dunia.

Seri Suske & Wiske diterbitkan pertama kali pada tahun 1946 dan telah dialih bahasa. Judul seri ini adalah:
1.   Setengah Havelaar
2.   Texas Rangers
3.   Para Perampok Muda
4.   Monumen Mahakarya
5.   Naga Periang
6.   Batu Bintang
7.   Tulang-tulang Gemetaran
8.   Badut Pengibul
9.   Gelendong Waktu
10. Getaran Batu Karang
11. Satir Air
12. Gameguru

Sumber Gambar:
http://nl.wikipedia.org/wiki/Suske_en_Wiske

Jumat, 22 Agustus 2014

Review 2014 #45: Si Dul Anak Jakarta

Penulis: Aman Datuk Madjoindo
Gambar Isi: Dahlan Djazh
Desain Sampul: David Harlen
ISBN:  979-666-556-5
Halaman: 86
Penerbit: Balai Pustaka

 ...
Aduh sialan, nih Si Doel anak sekolahan
Kerjaannye sembayang mengaji
Tapi jangan bikin die sakit hati
Die beri sekali, Huh.. orang bisa mati
...

Masih ingat penggalan lagu tersebut? Lagu tersebut merupakan  OST sinetron Si Doel Anak Sekolahan yang dibintangi oleh Rano Karno, Cornelia Agatha, Maudy Koesnaedi, Mandra, dan lainnya.  Si Doel Anak Sekolahan berhasil menjadi sinetron terlama yang ditayangkan di televisi, dengan 7 season dan 162 episode.Dan satu-satunya sinetron yang saya ikuti dengan rela dan iklas (halah)

Sinetron tersebut terinspirasi dari sebuah buku karangan Aman Datuk Madjoindo.Kisah tersebut telah diangkat beberapa kali ke layar lebar maupun dijadikan sinetron. Bukunya sendiri sudah beberapa kali dicetak ulang. Versi yang saya baca adalah cetakan ke-21 pada tahun 2000. Buku ini saya temukan diantara buku yang akan diolah di kantor, dibaca saat piket lalu dibawa pulang untuk direview, Senin sudah harus dikembalikan pada petugas.

Keluarga Si Doel Versi Sinetron
Kisah dalam buku ini tentunya sangat berbeda dengan kisah dalam sinetron. Nama ibu si Dul dalam  buku ini adalah Empok Amne, sementara dalam sinetron disebutkan Lela. Dalam buku sinetron dkisahkan ada Atun, sementara di buku ini Dul tidak mempunyai saudara kandung. Walau begitu perbedaan tersebut tidak membuat kurangnya keseruan membaca buku ini.

Ada delapan bagian dalam buku ini. Seluruhnya menceritakan tentang kehidupan seorang anak lelaki yang hidup dalam lingkungan Betawi yang kental.

Abdul Hamid biasa dipanggil si Dul merupakan anak satu-satunya dari sebuah keluarga sederhana keturunan Betawi. Mereka tinggal di Pisangan Baru. Seharinya bapak si Dul bekerja sebagai supir otobus (KBBI-mobil besar angkutan umum yg dapat memuat banyak penumpang), sementara sang ibu adalah ibu rumah tangga biasa.

Setiap hari  selain bermain, Dul juga mengaji. Ia belajar mengaji pada Uak  Salim yang merupakan kakeknya dari pihak ibu. Meski merupakan cucu, Dul tidak mendapat keistimewaan sama sekali. Ia tetap harus membayar biaya mengaji serta membantu mengurus  pekarangan dan kambing peliharaan Uak Salim.  Bukan pekerjaan yang mudah apalagi ia harus melakukannya bersama dengan anak lain yang sering menjahilinya.

Kehidupan Dul berubah saat ayahnya meninggal akibat kecelakaan. Ia harus hidup berdua dengan ibunya saja sejak itu. Sang kakek yang merasa kesal karena ditolak keinginannya untuk mengajak Dul dan ibunya tinggal bersama bersikap  keras. Ia tak mau memberikan bantuan dari segi finansial. Bahkan saat ibu Dul meminta ijin untuk bekerja ia kian marah. Singkat kata hanya ia yang benar dan semua keinginannya harus dikuti. Benar-benar watak kakek tua yang keras kepala dan egois!

Untunglah sang ibu segera bangkit dan memulai hidup baru dengan berjualan panganan. Mereka berbagi tugas. Sang ibu membuat panganan lalu Dul yang menjajakan keliling kampung. Hasilnya cukup lumayan sehingga mereka bisa mandiri.

Sebelum sang ayah meninggal, Dul sudah mengutarakan keinginannya untuk bersekolah. Namun  hal tersebut dianggap hal yang tidak biasa. Menurutnya Dul adalah anak kampung yang seharusnya mengaji saja, tidak usah masuk sekolah yang lain. Walau begitu ia bersedia mempertimbangkan permintaan Dul yang tidak biasa.

Selanjutnya silahkan baca sendiri ya.......

Membaca buku ini kita akan mendapat gambaran mengenai kehidupan masyarakat, khususnya masyarakat Betawi. Selain kebudayaan kita juga bisa mengetahui bagaimana pandangan mereka akan kehidupan ini. Tentunya sekarang beberapa hal sudah berubah.

Tokoh utama kita, Si Dul  digambarkan sebagai  seorang anak kecil yang gemar bermain, ceria, agak cepat emosi terbukti dengan banyaknya adegan perkelahian antara Dul dan anak yang lain. Hal tersebut bisa kita baca pada kalimat yang tercantum pada halaman 21, “Tentang berkelahi si Dul jangan ditanya lagi, memang kesukaannya berkelahi itu, lagi berani dan tak mau kalah.”

Meski begitu Doel juga digambarkan sebagai sosok yang taat beragama, santun dan takut pada orang tua. “Memang si Dul sangat takut pada ibu bapaknya, jangankan melawan, membantah pun ia tiada mau.” Bahkan pada kakeknya yang begitu galak dan sering seakan tidak memperhatikan Dul dan ibunya pun ia menghormati.


Selain mengajarkan tentang tolong menolong, dalam buku ini diuraikan dengan kisah tentang seorang wanita yang menawarkan pekerjaan bagi ibu Dul,  serta tetangga yang membantu saat penguburan bapak si Dul, juga diajarkan tentang sifat pantang menyerah.

Mpok Amne, dikisahkan berusaha keras menghidupi keluarga dengan berjualan panganan. Ia tidak mau hanya diam dan menangisi nasib tapi segera bangkit dan membenahi hidup. Dul membantu dengan semangat karena ia menyadari hanya itulah pendapatan keluarga.

Sifat boros yang digambarkan dalam kesukaan membakar petasan sebaiknya tidak ditiru. Meski menyadari pemborosan yang dilakukan tapi Mpok Amne tidak kuasa menolak permintaan anak semata wayangnya

Beberapa adegan membuat saya tertawa. Tapi yang paling membuat saya penasaran adalah tentang Toko Lapan Belas Sen. Hemm, mungkin tidak beda jauh dengan factory outlet atau toko serba sepuluh ribu dan sejenisnya. Dalam Toko Lapan Belas Sen banyak barang yang dijual dengan harga murah. Umumnya merupakan produk yang agak lama atau sedikit ketinggalan mode sehingga dijual murah.

Buku ini cukup  unik jika dilihat dari sejarahnya. Awalnya judul yang digunakan adalah Si Doel Anak Betawi. Penulisan Doel menggunakan ejaan lama  yang dibaca menjadi Dul.  Sesuai dengan perkembangan Zaman maka judul diganti menjadi Si Dul Anak Jakarta.

Dari penggunaan bahasa juga bisa dikatakan unik, Buku terbitan Balai Pustaka yang lainnya menggunakan bahasa Melayu tinggi, sementara buku ini tidak. Kisah dalam buku ini menggunakan bahasa Betawi (penulis menyebutnya bahasa Jakarta). Penulis  sengaja melakukannya karena  ingin memperkenalkan bahasa Betawi  kepada pembaca di luar Jakarta.

Jangan khawatir tidak bisa  menikmati kisahnya karena kendala ketidakpahaman bahasa. Penulis khusus menerangkan tentang pemakaian  bahasa Betawi,  pada pembaca. Maksudnya agar pembaca yang tinggal di luar Jakarta atau  kurang mengerti logat yang digunakan bisa mengerti dan menikmati kisah dalam buku ini. Uraian panjang lebar dalam pendahuluan menjelaskan bagaimana  logat mempengaruhi kata. Misalnya awalan me dalam percakapan tidak dipakai. Kata membeli  berubah menjadi beli, kata mengaji menjadi ngaji. Sementara awalan ber diucapkan tanpa huruf r, contohnya berdiri menjadi bediri, berjalan menjadi bejalan dan lainnya.

 

Sumber foto:
http://pensildimas.wordpress.com/2011/04/27/kemana-si-doel-anak-betawi/