Senin, 20 Oktober 2014

Review 2014#57: Dag, Dig, Dugderan, Jegger.......!

 
Judul asli: Dag, Dig, Dugderan
Penulis: Leyla Hana
Editor: Dewi Kartika Teguh Wati
Desain sampul: Gita Juwita
Tata letak isi: Rahayu Lestari
ISBN: 9786020308067 
EAN: 9786020308067
Halaman: 196
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
Harga: Rp 43.000



Acong
Joko
Sitorus

Eh maksudnya Sri,  Eileen dan Farah.  Tiga  dara manis yang akan mengikuti lomba Olimpiade Sain Nasional, OSN di Jakarta. Entah kenapa pikiran saya langsung melayang pada tiga nama tokoh pada iklan layanan masyarakat beberapa tahun lampau saat membaca nama-nama tokoh utama dalam kisah ini.

Menilik namanya, sangat jelas bahwa Acong adalah anak seorang keturunan Tionghoa, Joko anak seorang bangsawan Jawa, sementara Sitorus adalah  anak dari suku Batak. Ketiga ibu mereka berteman dan menularkan pertemanan pada ketiga anak mereka. Saat besar, Joko digambarkan menjadi seorang dokter, Acong memiliki usaha alat-alat olah raga, sementara Sitorus jika tidak salah menjadi seorang  pebinis. Iklan layanan tersebut pada dasarnya ingin mengusung tema bersatuan.

Buku ini juga mengusung tema persatuan. Sosok Sri, Eileen dan Farah merupakan contoh dari toleransi dan persatuan yang terjadi di masyarakat kita. Ketiganya memiliki latar belakang kehidupan yang berbeda. Sri merupakan anak seorang TKI dari Jawa yang sangat menyukai pelajaran biologi, Farah merupakan gadis keturunan Arab bertubuh  tinggi ke samping yang jago matematika. Sementara Eileen adalah gadis Tionghoa jago fisika  yang dianggap tidak memiliki kelebihan seperti anak laki oleh keluarga besarnya. Berbedaan mereka disatukan dalam upaya mewakili sekolah mengikuti  OSN di Jakarta.

Isi buku ini kurang lebih mengisahkan bagaimana mereka bertiga berusaha memenangkan lomba demi naik baik sekolah, disamping harus menghadapi berbagai masalah keluarga yang muncul. Setiap individu dikisahkan mengalami berbagai masalah dan hambatan sehingga membuat persiapan mereka mengikuti OSN tidak maksimal. Malah ada yang terancam tidak bisa berangkat.

Sosok ketiga dara tersebut dikisahkan dalam satu bab secara bersama. Tiga Impian misalnya. Bab ini merupakan bab yang mengenalkan kita pada sosok ketiga tokoh utama dalam kisah ini. Siapakah Sri, Farah dan Eileen diutarakan dalam bab ini. Sayangnya kisah perkenalan Sri memiliki porsi tak sebanyak dua sahabatnya menurut saya. 

Tidak adanya daftar isi membuat saya menerka-nerka apakah bab selanjutnya. lalu apakah bab tersebut berhubungan dengan bab sebelumnya atau mengacu pada suatu peristiawa di bab yang lain.

Satu hal yang membuat saya menyukai buku ini adalah penulis membuat kisah ini dengan memperhatikan unsur manusiawi dengan mendalam. Jagoan tidak harus selalu menang. Kisah tidak harus selalu berakhir bahagia. Tidak semua masalah bisa selesai dengan aneka perkataan menghibur, tidak semua jalan keluar ditemukan  semudah membalikan telapak tangan. Banyak pihak yang terlibat banyak proses yang harus mereka lalui. Namun proses tersebut membuat mereka bertiga menjadi sosok yang lebih kuat.

Kepribadian para tokoh yang ada disajikan secara konsisten dari awal hingga akhir kisah. Penulis cukup berhasil membuat setiap tokoh memiliki kepribadian yang mandiri dan berbeda satu dengan lainnya. Penulis  konsisten membangun kepribadian ketiga sosok tanpa terpengaruh satu dengan yang lainnya. Membuat satu tokoh konsisten sudah cukup berat, apa lagi ini tiga tokoh. Sebuah upaya yang patut dihargai.

Penulis juga mencoba memandang beberapa hal yang umum dibicarakan, atau kejadian yang ada disekitar  dari dua sisi.  Ia bersikap netral dengan tidak menyebutkan hal itu salah, tapi tidak juga mendukung. Semuanya diserahkan pada tanggapan tiap individu. Misalnya soal OCD, Obsessive Corbuzier's Diet. Penulis hanya menguraikan tentang OCD serta menyebutkan bahwa OCD mungkin cocok untuk beberapa orang tapi bisa juga tidak cocok bahkan cenderung membahayakan bagi yang lain. Pembaca dipersilahkan untuk menilai sendiri bagaimana OCD itu sebenarnya.

Ada beberapa hal yang masih perlu dikupas lebih panjang, misalnya tentang penyelesaikan beberapa masalah. Memang tidak selalu berujung dengan kebaikan atau keberhasilan tapi tidak harus dibuat menggantung atau dibiarkan begitu saja. Contoh kasus yang dialami oleh keluarga Eileen. Bagaimanakah penyelesaiannya? Apakah para penduduk yang marah cukup bisa diredam dengan tutur kata Eileen yang masih remaja saja. Memang disebutkan mengenai sebuah rencana terkait rumah tapi bagaimana kelanjutannya?

Benang merah ketiga tokoh utama dalam kisah ini adalah OSN, lalu bagaimana proses ketiga mengikuti ujian kurang diuraikan. Bagaimana situasi Sri saat menjawab soal, atau kesulitan apa yang ditemui oleh Farah perlu diuraikan lebih mendalam oleh penulis.

Banyak terdapat ungkapan dalam buku ini. Baik  mempergunakan bahasa Jawa, Tionghoa atau Arab.  Tapi tidak perlu khawatir, sudah tersedia terjemahannya sebagai catatan kaki. Kata kemayu pada halaman 101 sebagai contoh, diartikan sebagai bersikap seperti wanita. Kata Menahnik pada halaman 51 berarti memasukkan kurma yang dilumatkan ke dalam mulut bayi. Apa merupakan sebutan bagi bapak dalam bahasa Tionghoa  menurut catatan kaki di halaman 5

Terdapat  pula aneka istilah-istilah umum. Istilah GTM pada halaman 52 sebagai contoh. Pada catatan kaki sudah diberikan keterangan bahwa GMT adalah kependekan dari Gerakan Tutup Mulut. Suatu kebiasaan yang dilakukan oleh bayi dan balita saat sedang tidak mau makan. Mading merupakan kependekan majalah dinding di halaman 58. 

Memang beberapa istilah sudah sering didengar, namun penulis sepertinya tetap memasukan demi menyamakan persepsi dengan pembaca agar mereka lebih bisa menikmati kisah yang disajikan. Terdapat juga  Beberapa typo dikarenakan settingan juga ditemui dalam buku ini. Anggaplah sebagai pewarna.

Selain mengusung semangat perjuangan, buku ini juga menyisipkan banyak pesan moral. Saudara sepupu Sri yang bandel sebagai contoh. Akibat sang ayah sering menerima suap maka kehidupan keluarganya menjadi kurang baik. Anak-anaknya memiliki aneka gadget canggih yang bisa diganti dengan mudah sehingga mereka tidak tahu bagaimana rasanya berusaha dan menghargai apa yang mereka miliki. Sang anak juga bersikap semaunya dengan anggapan sang ayah yang selalu memiliki uang berlebih akan mampu menyelesaikan semua masalah yang ditimbulkannya.  Perhatian pada keluarga juga sangat berkurang karena sibuk mencari tambahan bagi keluarga.

Aneka pengetahuan tentang kebudayaan serta kehidupan masyarakat di kota Semarang juga bisa kita temui dalam buku ini. Judul kisah ini juga mengusung kebudayaan setempat. Suatu hal yang bisa dikatakan jarang ditemui pada novel remaja.

Dudgeran merupakan sebuah festival yang diselenggarakan guna menyambut Ramadhan. Kata Dugeran mengacu pada suara mercon. Mesjid Agung Jawa Tengah menyambut peserta pawai yang berangkat dari dua mesjid, yaitu Mesjid Kauman serta Baiturrahman. Kirab diikuti oleh peserta dari berbagai kalangan, sekolah, ormas, organisasi masyarakat dan lain-lain. Dalam kirab tersebut juga akan ditemui  Warak Ngendong.

Kata Warak sendiri berasal dari bahasa arab “Wara’I” yang berarti suci. Dan Ngendog (bertelur) disimbolkan sebagai hasil pahala yang didapat seseorang setelah sebelumnya menjalani proses suci. Secara harfiah, Warak Ngendog bisa diartikan sebagai siapa saja yang menjaga kesucian di Bulan Ramadhan, kelak di akhir bulan akan mendapatkan pahala di Hari lebaran (http://id.wikipedia.org/wiki/Warak_ngendok)


Secara singkat kata, buku ini perlu dibaca dan dikoleksi. Karena tidak saja menyajikan kisah padat pesan moral tapi juga memberikan hiburan serta tambahan pengetahuan terutama seputar kota Semarang tanpa berkesan menggurui.


Sumber gambar:
http://id.wikipedia.org/wiki/Warak_ngendok

Tidak ada komentar:

Posting Komentar