Kamis, 05 Maret 2015

2015 #31: Halaman Terakhir

Penulis: Yudhi Herwibowo
Penyunting: Miranda Harlan
Penyelaras aksara: Nunung Wiyati, Sittah Khusnul Khotimah
Penata aksara: abd. Wahab, Alfiyan Rajendra
Desain sampul: AAA
ISBN: 9786027816657
Halaman: 448
Cetakan: Pertama-February 2015
Penerbit: Noura Book Publising
Harga: Rp 74.000

Eyang kakung
Musik Hawaii
Visa ke Amerika

Tiga kata tersebut melintas dalam benak saya ketika sang maestro, Mas Yudhi berkisah tentang misi menulis selanjutnya. Sosok Jenderal Polisi Hoegeng yang terkenal jujur sudah mencuri hatinya hingga membuahkan keinginan untuk menulis tentang beliau.

Eyang saya merupakan seorang pensiunan polisi dengan pangkat lumayan. Beberapa kali saya berkesempatan menemani kedua eyang menghadiri pertemuan pensiuan polisi. Mungkin  saya pernah bertemu dengan Hoegeng tanpa saya sadari. Setiap ada kisah tentang sosok polisi pasti pikiran saya akan terseret pada kenangan  sosok  eyang.

Saya lupa hari apa tepatnya, tapi yang saya ingat jika  lagu ala Hawaii berkumandang di televisi artinya sudah waktunya jam tayang Hawaiian seniors. Bagi saya itu merupakan saat yang menyedihkan, karena menandakan film kartun habis. Hiksss, maklum dulu hanya ada satu stasiun televisi.

Selama saya mengenal sosok penulis, baru  buku  Pearl of China yang saya tahu sukses membuar air matanya mengalir tanpa malu. Ternyata tanyangan Kick Andy episode tentang sosok Hoegeng dimana salah satu narasumber adalah istrinya, Merianti Roeslani juga mampu membuat seorang Yudhi berurai air mata haru. Kisah bagaimana berulang kali permohonan visa beliau ditolak sungguh mengharukan. Apalagi tujuannya adalah menuju Hawaii untuk bertemu dengan sahabat lama Mukiana. Beberapa saat kemudian ada episode tentang visa tersebut lagi, tapi kali ini berita gembira. Syukurlah.

Seperti penulis, saya juga ikut merasakan haru saat melihat tayangan tersebut. Apalagi beberapa saat kemudian, tante saya berkisah tentang kondisi keluarga Hoegeng pada saat pertemuan keluarga bulanan. Saya tidak memahami secara jelas apa yang para saudara mama saya bahas, tapi yang saya pahami betapa mengharukan kehidupan mereka. Betapa bertolak belakang dengan kondisi pensiunan polisi berbintang empat lainnya.Saya bersyukur kondisi keluarga saya bisa lebih baik dari mereka.

Semula hanya diskusi ringan sambil makan ketika saya berada di Solo. Akhirnya sebuah draft berjudul Panggil Aku Hoegeng mendarat dengan manis di kamar saya. Kisahnya tentang dua kasus terakhir yang diselidiki oleh Hoegeng sebelum posisinya digantikan  tanpa menunggu habis masa jabatan.  Belakangan sebuah buntelan mendarat dari penerbit. Buku tersebut sudah jadi dengan perubahan judul menjadi  Halaman Terakhir . Pada karena buku ini memang terinspirasi 2 kisah terakhir Hoegeng, sebelum dirinya dicopot oleh Presiden Soeharto. Kasus tersebut adalah  Pemerkosaan Sum Kuning dan Penyelundupan Mobil Robby Cahyadi

Demi Allah, saya memang di-pusra di mobil!
Kalimat itu membuat saya, sesama perempuan, bisa merasakan kepedihan yang dirasakan oleh sosok Sumariyah. Sebagai gadis berusia sekitar 16 tahun berkulit sawo matang, yang dia tahu bahwa harga dirinya sudah terkoyak. Dan bukannya mendapat bantuan atas pengaduannya, ia justru ditahan atas tuduhan membuat laporan palsu. Sungguh mengenaskan nasibnya. 

Sum sedang  berjalan kaki sambil menunggu kendaraan umum ke arah rumahnya ketika sebuah mobil kombi berwarna merah menjajari langkahnya. Awalnya seorang pria berambut gondrong memaksa untuk mengantarnya. Tawaran tersebut ditolak halus Sum, bukannya berlalu justru muncul sosok lain dari tengah dan menari tangan Sum. Dan perbuatan bejat itu terjadi. Andai Sum mengikuti perasaan hatinya yang tidak enak untuk pergi dan membiarkan saja soal persediaan tekur dagangannya yang habis, atau tetap pergi namun mengikuti  saran  seorang kenek bus kenalannya untuk tetap menunggu kendaraan bukannya berjalan ke arah timur, mungkinkah kejadian tersebut bisa dihindari? Entah.

Kisah yang mengenaskan itu ditulis dengan bahasa sederhana  tapi membuat emosi pembaca tercabik-cabik.  Justru kaliamt sederhana tersebut yang membuat pembaca bisa merasakan bagaimana ketakutan dan penderitaan Sum. Dimulai dengan uraian bagaimana Sum berjualan, memutuskan untuk pulang, menunggu kendaraan, bertemu dengan mobil kombi merah, bagaimana peristiwa itu terjadi hingga dicampakkan bagaikan sampah. Kisah mengharu-biru tersebut bisa dibaca di halaman 11-15.

Seorang wartawan menulis tentang peristiwa Sum. Yogyakarta menjadi geger. Pihak berwajib  justru menjemput Sum dan menyuruhnya mengakui cerita yang berbeda dari versi sebelumnya. Dia diancam akan disetrum jika tidak mau menurut. Sum kian tak berdaya ketika dituduh menjadi anggota Gerwani. 

Bukannya mencari empat orang yang disebut sum sebagai pemerkosa, seorang tukang bakso yang melapor pernah melihat kombi merah disekitar lokasi beberapa jam sebelum peristiwa justru dijadikan tersangka. Apalagi sudah bukan rahasia umum jika Trimo, si tukang bakso menaruh hati pada Sum.

Untunglah Hakim Ketua Pengadilan Negeri Yogyakarta Ny Lamjiah Moeljarto punya  pandangan berbeda. Dengan berani Lamjiah membebaskan Sum dari tuntutan jaksa. Tak ada bukti Sum membuat kesaksian palsu. Hakim juga membeberkan semua penderitaan Sum selama ditahan polisi. Mulai dari tidak diberi makan, diancam dipenjara, bahkan akan disetrum. Begitu juga dengan Trimo yang disiksa dengan dipilin jari-jari tangannya. Mengacu pada  vonis berani hakim itu, Kapolri Jenderal Hoegeng memanggil pejabat polisi Yogyakarta. Dandin 096 Yogyakarta Indrajoto diperiksa dan dicopot dari jabatannya. Hoegeng mengancam akan menyeret anak-anak pejabat yang memperkosa Sum. 

Hoegeng membentuk tim khusus untuk menangani kasus ini. Namanya Tim Pemeriksa Sum Kuning, dibentuk Januari 1971. Kasus Sum Kuning terus membesar seperti bola salju. Sejumlah pejabat polisi dan Yogyakarta yang anaknya disebut terlibat, membantah lewat media massa. Belakangan Presiden Soeharto sampai turun tangan menghentikan kasus Sum Kuning.

Dalam pertemuan di istana, Soeharto memerintahkan kasus ini ditangani oleh Team pemeriksa Pusat Kopkamtib. Hal ini dinilai luar biasa. Kopkamtib adalah lembaga negara yang menangani masalah politik luar biasa. Masalah keamanan yang dianggap membahayakan negara. Kenapa kasus perkosaan ini sampai ditangani Kopkamtib? Tanggal 2 Oktober 1971, Hoegeng dipensiunkan sebagai Kapolri. Beberapa pihak menilai Hoegeng sengaja dipensiunkan untuk menutup kasus ini.
Mengenai bagaimana Hoegeng menangani kedua kasus tersebut sepertinya sudah sering dibahas. Tapi buku ini juga memberikan gambaran bahwa bagaimana juga Hoegeng adalah seorang manusia dengan segala kelebihan dan kekurangannya. Misalnya tentang bagaimana sakit hatinya Hoegeng ketika dilarang menghadiri upacara  Bhayangkara, lalu bagaimana rasa bahagia dan haru menyelimuti tidak saja Hoegeng namun seluruh keluarganya, ketika Kapolri yang baru berkunjung dan mengundang Hoegeng untuk datang pada upacara Bhayangkara lagi. Binar-binar bahagia terlihat jelas di mata Hoegeng saat menjalani pengukuran untuk pembuatan pakaian oleh tukang jahit yang dikirim. Hal ini menunjukan betapa berartinya peristiwa itu, keinginan yang terpendam sudah terlaksana. Bagian ini membuat sudut mata saya sedikit basah.

Kisah mengenai bagaiman kerasnya Hoegeng memegang prinsip juga diuraikan dalam buku ini. Melalui kisah bagaimana Hoegeng harus menggunakan kendaraan umum saat mencari rumah kontrakan baru karena ia harus segera meninggalkan rumah dinas begitu masa jabatan selesai menunjukan betapa keras kehidupan seorang Hoegeng. Jika mau ia bisa saja meminjam namun ia lebih suka tidak merepotkan orang.

Saya lebih menyukai judul Panggil Aku Hoegeng. Menunjukan ketegaran, keberanian dan pemegang prinsip kehidupan. Terkesan lebih macho saja buat saya. Pengucapannya juga terdengar mantap di telinga. Pembaca langsung bisa mengira apa isi buku ini. Tapi meski begitu judul yang dipilih sudah bisa mewakili isi buku.

Hoegeng juga tak gentar merintis pemakaian helm bagi pengendara kendaraan bermotor yang ketika itu menjadi polemik. Tudingan masyarakat bahwa hal ini dilakukan karena ada hubungan antara dirinya dengan salah satu perusahaan helm ditampiknya kuat-kuat. Semuanya demi keamanan pengendara semata. Dewasa ini peraturan terebut kembali ditegakkan. Hal ini menunjukan bahwa Hoegeng adalah orang yang memiliki pandangan jauh ke depan.

Sadar akan kemampuannya yang kurang untuk bertugas menjadi duta besar, Hoegeng memilih mundur dari pada harus bertugas meski resikonya ia harus kehilangan jabatan. Sikap profesionalisme tersebut membuat Hoegeng selalu menuntaskan setiap perkara yang ditanganinya dengan seksama, Segala daya dan upaya dikerahkan demi mendapatkan hasil terbaik, kasus terpecahkan dengan baik.

Kejujuran seorang Hoegeng bahkan menjadi hal yang mendapat perhatian khusus dari Gus Dur, "... Hanya tiga polisi yang jujur, yakni patung polisi, polisi tidur dan Hoegeng."  Begitu jujurnya Hoegeng segera mengembalikan isi rumah begitu masa jabatannya selesai. tak ada keinginan untuk menguasainya. Kisah tentang kejujuran seorang Hoegeng  juga bisa kita temui dalam tulisan di http://www.imigrasi.go.id, ada 6 hal yang menggambarkan kejujuran Hoegeng, yaitu
1. Larang istri buka toko bunga
2. Tolak rayuan pengusaha cantik
3. Mengatur lalu lintas di perempatan
4. Berantas semua beking kejahatan
5. Hoegeng dan pemerkosaan Sum Kuning
6. Selalu berpesan polisi jangan sampai dibeli
Buku ini tidak saja membuat pembaca  mendapat informasi kembali tentang dua kasus yang cukup melegenda dahulu, tapi juga membaca biografi Hoegeng dengan cara yang berbeda. Prinsip hidup, sepak terjang menegakkan keadilan dan membasmi kejahatan serta bagaimana Hoegeng menjalai kehidupan dipaparkan dengan cara yang unik. Pembaca bisa mengambil hikmah dan pelajaran tanpa dipaksa dan kesan menggurui.

Kover dengan mengusung tema mesin ketik dan mempergunakan huruf seperti hasil ketikan membuat saya bertanya-tanya. Kenapa ya? Apa karena isinya juga menyangkut tentang peran serta media melalui wartawan yang membuat kedua kasus tersebut menjadi terkenal di masyarakat. Atau untuk perlambang tentang pembahasan kasus dari masa lalu. Bisa juga tujuannya agar unik saja.

Sebagai selingan, selain mendapat gambaran tentang kehidupan sosial masyarakat saat itu, ada kisah percintaan dua orang polisi muda anak buah Hoegeng. Sayangnya penulis kurang mengeksploitasi bagian ini. Tentunya bisa menjadi hal yang menyegarkan bagi buku ini.

Tak ketinggalan tentunya diulas tentang musik. Kecintaan Hoegeng pada musik terlihat dalam buku ini. Beberapa bagian dikisahkan Hoegeng sedang menikmati musik, bagian lagi tentang kegiatan bermusik, bahkan ada tentang bagaimana mula Hawaiian Senior terbentuk. Inspiratif.

Jenderal Polisi (Purn) Hoegeng Imam Santoso merupakan putra sulung dari pasangan Soekario Kario Hatmodjo dan Oemi Kalsoem. Lahir do Pekalongan Jawa Tengah, 14 Oktober 1921, merupakan salah satu tokoh kepolisin di tanah air yang pernah menjabat sebagai Kepala Kepolisian Republik Indonesia ke-5 yang bertugas tahun 1968-1971. Hoegeng juga salah satu penanadatangan Petisi 50. Beliau menutup mata pada 14 Juli 2004 pada usia 82 tahun.
Sejumlah tanda jasa telah diterima oleh Hoegeng Imam Santoso atas semua pengabdiannya kepada negara,  
  • Bintang Gerilya
  • Bintang Dharma
  • Bintang Bhayangkara I
  • Bintang Kartika Eka Paksi I
  • Bintang Jalasena I
  • Bintang Swa Buana Paksa I
  • Satya Lencana Sapta Marga
  • Satya Lencana Perang Kemerdekaan (I dan II)
  • Satya Lencana Peringatan Kemerdekaan
  • Satya Lencana Prasetya Pancawarsa
  • Satya Lencana Dasa Warsa
  • Satya Lencana GOM I
  • Satya Lencana Yana Utama
  • Satya Lencana Penegak
  • Satya Lencana Ksatria Tamtama
Sebuah kata Hoegeng yang pantas selalu kita ingat, 
"Adalah baik menjadi orang penting, tapi lebih penting menjadi orang baik." 
Semoga kelak, akan bermunculan  Hoegeng-Hoegeng lagi, bermunculan orang-orang baik di tanah air.

Jika ada yang ingin mengetahui tentang proses penulisan buku ini serta hal lain tentang penulis, silahkan mengunjungi http://novelhalamanterakhir@blogspot.com

Sumber gambar:
http://adilesmana.com/?p=173
------------------------------
Seperti yang saya sebut di atas.
Membahas buku tentang Jenderal Polisi (Purn) Hoegeng Imam Santoso membuat saya teringat akan sosok Eyang kakung dari pihak mama saya. Semula beliau adalah guru, namun karena menolak memberi hormat pada bendera Belanda kala itu maka beliau diberhentikan. Garis nasib membuat eyang menjadi polisi.

tanda sadar saya melirik buku peringatan 40 hari meninggal beliau yang ada di rak buku saya. Sebuah coretan yang harus saya buat dalam waktu singkat sebagai perwakilan cucu ada di sana. Saya kutip di bawah. Sekedar sebagai obat rindu. 

Dari para cucu kagem Eyang kakung 
yang paling kami kasihi

Seakan waktu baru saja berlalu
Saat poro wayah saling memamerkan dengan bangsa
Sepaket coklat yang didapat selesai joget atau karawitan
Saat acara Halal Bhihalal Trah Atmosuhartan

Sekana belum lama berselang
Poro wayah menelepon Eyang untuk berkata
Matur Nuwun untuk kiriman uang jajan bulanan
Atau untuk kiriman oleh-oleh setiap habis keluar kota atau keluar negeri

Seakan baru kemarin
Poro wayah sering dibuat pakewuh, tidak enak hati
Ketika Eyang dengan bangga bercerita mengenai poro wayah
Entah sekedar kenakalan. Keberhasilan sekolah,
Keberhasilan menjuarai suatu kegiatan, atau bahkan memamerkan
Sekedar kiriman tanda ingat dari cucu-cucu

Seakan baru  sesaat lewat
Poro wayah menhadap untuk nyuwun pangestu
Atas keinginan untuk membina keluarga sendiri
Dengan berkaca pada hubungan harmonis Eyang Kakung dan Eyang Putri

Kadang kala,
Kami melihat sepaket coklat
Seperti dulu yang pernah diparingi Eyang
Tapi rasanya tidak semanis coklat yang dulu
Karena yang dulu diparingi Eyang dengan kasih sayang
Cinta tulus bercampur dengan kebanggaan

Hampir seluruh foto yang ada posisinya selalu saja
Eyang kakung memeluk Eyang putri, berusaha melindungi
Hampir setiap detik kehidupan yang dilewati bersama
Eyang kakung selalu lebih memikirkan Eyang putri
Bahkan terucap niat jika agar kalau diizinkan Allah 
Lebih baik Eyang putri dulu yang tindak
Dengan keinginan untuk menjaga sampai detik terakhir
Tetapi Tuhan berkehendak lain Eyang kakung
telah pergi terlebih dahulu menghadap yang kuasa

Sugeng tindak Eyang kakung
Untuk semua cinta kasih yang pernah ada
Jarak Solo-Jakarta yang ditempuh poro wayah
Untuk mengiringi ke tempat peristirahat terakhir
Tidaklah berarti banyak
We always love you!










5 komentar:

  1. semakin penasaran aja dengan buku ini, resensi Mba Truly sukses :)

    BalasHapus
  2. Review mbak Truly memang ajaib. Simpulannya buku ini wajib dibeli :)

    BalasHapus