Selasa, 10 November 2015

2015 # 86: Pak Madong


Disadjikan oleh: J. St. Madjolelo
Digambari oleh: A. Djan
Pertjetakan: Balai Pustaka - Djakarta

Boekoe ini ditemukan diantara toempoekan boekoe-boekoe yang hendak dirapikan. Tanpa kover gambar. Tapi itoelah yang memboeat saja tergoda oentoek melihatnja...
Kembali ke tahun 2015....

Jadi ceritanya buku ini saya temukan terhimpit dengan buku lainnya di rak yang sedang dirapikan oleh pustakawan di kantor saya. Justru karena tidak ada kover dengan gambar atau tulisan, semula saya kira ini buku tulis atau notes yang tidak terpakai. Apa lagi kovernya mengusung nuansa biru, makin tergoda untuk melihat. 

Membuka halaman pertama, saya langsung terkejut. Lahh ini sih buku  "buluk" yang layak dilihat. Saya harus membuka halamannya dengan hati-hati mengingat  kondisi buku, sepertinya buku ini sudah pernah mengalami perbaikan. Belum lagi jika mengikuti tahun terbit yang ada di buku, maka usianya sekitar 56 tahun. Bukan usia yang muda lagi.

Kurang lebih ini merupakan kumpulan kisah tentang seorang pria yang disapa Pak Madong. Ia tinggal bersama istri dan anaknya di negeri Simpang-Empat. Oh ya, ia dipanggil Pak Madong karena ia adalah ayah dari seorang anak bernama Madong. Begitu juga dengan istrinya yang sapa dengan Mak Madong. Masyarakat sekitar menyapa sepasang suami istri dengan nama anak tertua keluarga tersebut, jika mereka sudah memiliki anak tentunya.

Ada sekitar 6 kisah yang termuat dalam buku ini. Mulai dari  Harimau melarikan Lesung, Pak Madong memperkuda Harimau, Kuda Pak Madong digiling Oto, Antara Hidup dengan Mati, hingga Djatuh kedalam Lubang Beruang.

Buku setebal 35 halaman ini menggambarkan bagaimana kehidupan Pak Madong dan keluarga sehari-harinya. Pak Madong disebutkan memiliki teman sesama guru dihalaman 9, memiliki kegiatan menajar di halaman 27 serta dipanggil Pak Guru di halaman 28, maka bisa kita simpulkan beliau adalah seorang guru.

Sebagian besar cerita terkait dengan harimau. Dikisahkan bagaimana takutnya warga akan harimau yang masih bebas berkeliaran, hingga mereka umumnya tidak ingin keluar rumah saat malam hari.

Malam itu Mak Madong sedang menumbuk cabai di dekat dapur, bayangannya terkena lampu jatuh di atas lesung. Seekor harimau yang lapar, menyambar lesung milik Mak Madong. Mungkin karena harimau terlalu lapar sehingga tidak bisa melihat dengan tepat. Lesung dikira Mak Madong. Keluarga Pak Madong yang ketakutan segera mengunci pintu rumah dan bersembunyi hingga pagi. Mereka terpaksa menahan lapar karena nasi masih berada di dapur yang letaknya berbeda dengan rumah tinggal dalam kisah ini.


Belakangan lesung itu ditemukan di lokasi yang lumayan jauh dari rumah, dengan bekas gigitan. Bayangkan jika malam itu yang tersambar adalah Mak Madong, niscaya ia meninggal dunia.

Kisah yang saya paling suka adalah Pak Madong memperkuda Harimau. Karena sudah musim durian, Pak Madong bersama sahabatnya Pak Amat berencana mencari durian runtuh di kebun durian. Pak Mandong yang sudah setengah jam menunggu di pondok merasa khawatir karena Pak Amat belum juga kembali. Ia khawatir durian yang lezat dihabiskan semua oleh Pak Amat.

Ketika melihat ada bayangan menyerupai orang sedang duduk di batu besar yang ada dekat pondok, munculah ide jahil Pak Madong. Diam-diam dihampirinya bayangan itu lalu sekonyong-konyong ditutupnya mata bayangan itu. Niatnya ingin mempermainkan bayangan yang dikira Pak Amat.

Ternyata itu harimau sepanjang dua meter lebih!
Harimau yag kaget itu langsung mengaum keras. Ia begitu ketakutan dan langsung berlari kencang membawa Pak Madong.  Muka Pak Madong mendadak menjadi pucat karena ketakutan, ia berteriak minta tolong. Tapi siapa yang bisa menolongnya di sana. Untunglah karena ada semak-belukar yang menahan laju lari harimau, tangannya terlepas dan ia terjatuh. Lumayan juga Pak Madong dilarikan harimau, ada sekitar 100 meter.

Saya tertawa bercampur rasa prihatin membayangkan betapa ketautannya Pak Madong saat ia menyadari ia duduk di atas harimau. Penulis menggambarkan dengan jelas bagaimana suasana saat peristiwa tersebut berlangsung sehingga saya bisa ikut merasakan ketakutan yang dialami Pak Madong.

oh ya, saya juga ikut merasakan bagaimana lezatnya buah durian yang berhasul dikumpulkan oleh Pak Amat. Sebagai penyuka buah ini, membaca uraian mengenai bagaimana lezatnya buat yang matang pohon membuat air liur saya mendesak keluar.

Buku ini memang mempergunakan ejaan lama, tapi masih bisa dinikmati oleh mereka yang tidak sempat merasakan mempergunakan ejaan lama dalam kehidupan sehari-hari.  Kata yang dipilih cenderung sederhana tapi tepat sasaran. Mungkin karena buku ini ditujukan bagi anak-anak. Kata eh kalimat favorit saya adalah "Darahnja gedebak-gedebur." pada halaman 14. 

Bagian yang mengisahkan tentang pembunuhan harimau membuat saya meringis. Mungkin sekitar tahun itu, membunuh harimau masih dianggap hal yang biasa. Tapi saat ini, rasanya kok tidak tega ya. Kalau pun ada yang mengganggu warga maka akan ditembak dengan senapan bius untuk diserahkan ke kebun binatang atau bagaimanalah tapi bukan dibunuh. Apa lagi beberapa jenis harimau jika tidak salah telah punah.

Secara garis besar, buku ini cocok untuk dibaca anak-anak. Pesan moralnya ada, hiburannya juga ada.  Ilustrasi yang ada juga menarik. Saya tidak bisa menemukan kover asli buku ini, sehingga saya pasang yang saya temukan. Penasaran saja. Semoga kelak ada versi digitalnya sehingga bisa dibaca oleh anak-anak yang lebih menyukai versi buku digital dari pada buku kertas.

Sayangnya minim data yang bisa saya peroleh tentang buku dan penulis ini. Minimal saya dapat informasi mengenai karya-karya yang lain. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar