Rabu, 27 Desember 2017

2017 #58 : Origin

Penampakan di TM Bookstore Depok
Penulis: Dan Brown
Penerjemah: Ingrid Dwijani Nimpoeno, Reinitha Amalia Lasmana, Dyah Agustine
Penyunting: Esti Ayu Budihabsari
ISBN: 9786022914433
Halaman: 516
Cetakan: Pertama-2017
Penerbit: Bentang Pustaka
Harga: Rp 189.000
Rating:4.25/5

Tapi keajaiban terjadi setiap hari

~hal 45~

Seiring waktu, teknologi sudah menjadi bagian dari kehidupan manusia. Mulai dari membuka mata pagi hari hingga terlelap malam hari. Dari hal sepele seperti membuat roti bakar hingga hal besar seperti peluncuran pesawat ruang angkasa.

Dalam kehidupan, sering kali kita mendengar pertanyaan dari mana kita berasal dan ke mana kita akan pergi. Hal yang butuh perenungan untuk dapat menemukan jawabannya. Agama dan perkembangan teknologi dalam kehidupan, merupakan  dua bahan baku yang diracik apik dalam kisah kali ini. 


Profesor  Robert Langdon mendapat undangan untuk menghadiri acara eksklusif di Museum Guggenheim di Bilbao, Spanyol, dari mantan muridnya Edmond Kirsch sang milyader eksentrik.  Menurut dugaan Langdon, undangan kali ini merupakan kelanjutan dari pertemuan mereka setahun silam. Saat itu mereka banyak berdiskusi mengenai keagamaan. Rasa ingin tahu membuatnya menerima undangan tersebut.

Selama berada di museum, Langdon  mendapat arahan melalui alat yang menyerupai headphones. Semula ia
mengira  sedang berbicara dengan seseorang yang bertugas sebagai pemandu baginya.

Dari awal ia sudah dibuat takjub dengan kecerdasan yang dimiliki oleh Winston.  Mereka berkomunikasi dengan baik, bahkan sempat berdiskusi kecil mengenai beberapa hal. Ternyata Winston merupakan produk mahakarya Kirsch yang terilhami dengan pengetahuan zaman lampau.

Langdon dan juga tamu yang lain diajak menikmati presentasi yang disajikan oleh  Kirsch. Suasana yang dibuat layaknya padang rumput, membuat para undangan penasaran dengan isi presentasi tersebut. Konon, isinya mampu memberikan jawaban mengenai pertanyaan dari mana kita berasal dan ke mana kita akan pergi.

Situasi yang semula nyaman mendadak menjadi kacau. Kirsch dibunuh di hadapan orang banyak, padahal presentasinya belum selesai.  Masalah makin runyam ketika  Langdon berada di tempat dan waktu yang salah. Ia sempat menjadi tersangka. Belum lagi, ternyata direktur museum, Ambra Vidal, merupakan tunangan sang pangeran calon pewaris tahta kerajaan.

Banyak pihak yang penasaran akan isi presentasi Kirsch.  Langdon bersama Vidal harus berusaha menyelamatkan diri dari kejaran banyak pihak yang ingin menggagalkan upaya mereka menemukan password guna menyebarkan presentasi Kirsh. Belum lagi, adanya kemungkinan mereka akan dibuat celaka karena isi presentasi tersebut. 

https://www.goodreads.com/
book/show/36602592

Semuanya mungkin saja terjadi, apa lagi jika isi presentasi tersebut konon terkait dengan eksistensi sebagai seorang manusia.  Resiko sudah diambil, tujuan utama Langdon dan Vidal adalah membuat presentasi tersebut dilihat banyak orang diseluruh penjuri dunia, bagaimana pun caranya. Sedangkan mengenai isinya, biarkan tiap individu memberikan penilaiannya masing-masing.

Pembaca  akan diajak mengikuti upaya Langdon dan Vidal memecahkan aneka kode rahasia sambil berusaha menyelamatkan diri dari musuh yang kejam.  Dibandingkan dengan buku-buku sebelumnya, ritme petualangan dalam buku ini cenderung lebih lambat. Ketegangan mulai terasa pada bab 28. Aneka adegan seru seperti kejar-kejaran, baku hantam dan sejenisnya tetap ada, hanya porsinya lebih sedikit. Justru unsur perenungan dan kejutan-kejutan secara psikis lebih banyak ditampilkan dalam kisah kali ini.


Seperti juga kisah yang lalu, penulis memberikan Langdon sosok wanita pendamping. Jika tujuannya untuk memberikan unsur romantis, jelas gagal total.  Sosok perempuan yang hadir, selalu digambarkan  selain cantik, juga memiliki kepandaian tinggi dan tegar dalam berbagai situasi mencekam. Tentunya ini untuk mengimbangi karakter Langdon yang dibuat terpelajar, tenang dan berpikir cepat.

Saya langsung teringat dengan film James Bond. Tiap filmnya pasti mengusung para wanita cantik. Bedanya dengan kisah ala Dan Brown, para wanita ditampikan dengan sudut pandang yang berbeda. Mungkin saya salah, tapi seingat saya, tak ada yang sampai urusan tempat tidur.  
https://www.goodreads.com/book/
show/36410949-begynnelse

Selain perihal sejarah, Dan Brown juga mengusung unsur kekinian  dalam buku ini.  Terutama sekali hal-hal yang terjadi dalam kehidupan kita. Misalnya saja mengenai penggunaan kendaraan online dengan brand Uber di halaman 140. Lalu pepatah yang sempat (atau masih) tren  dari Putri Elsa  di halaman 184 (tahukan siapa), kalimat "Let it go." 

Bagian yang paling  seseuai dengan kecenderungan anak muda saat ini adalah yang mengisahkan beberapa anak muda menemukan mayat salah satu tokoh terkemuka. Alih-alih menghubungi pihak berwenang, mereka malah sibuk mengeluarkan telepon pintarnya dan memotret.  Bagian yang mampu membuat berdecak heran.

Dalam buku kali ini, Dan Brown juga menyisipkan semangat untuk gemar membaca di halaman 23, "Sejauh ingatan Langdon, Edmond adalah pencinta buku yang tak pernah terpuaskan-membaca segala yang dilihatnya. Gairah lelaki itu terhadap buku, dan kapasitasnya dalam menyerap isi buku, melampaui segala yang pernah disaksikan Langdon."

Sekedar saran, saat membaca cobalah sambil mampir ke http://www.origin-guide.com. Di sana kita bisa mendapat informasi lengkap mengenai beberapa lokasi atau karya seni yang ada dalam buku ini.  Sebagai contoh, pada bab sepuluh, kita bisa melihat foto-foto dari Cathedral of the Almudena in Madrid and the virgin. Lalu pada  bab tiga puluh tujuh ada La bibliothèque du palais royal de Madrid. Kenikmatan membaca akan semakin bertambah.

Meski saya tak merasa "lelah" karena harus sibuk berlarian bersama Langdon, tapi buku ini memberikan aneka pertanyaan dan ungkapan yang menggelitik jiwa. Juga menjadi bahan perenungan. "Lelah" juga.

Beberapa bagian mungkin akan menjadi hal yang sensitif bagi orang lain.  Mengenai rahasia kelam sang raja sebagai contoh. Apa yang ia sampaikan pada sang anak merupakan hal yang bisa membuat seseorang menjadi kesal atau marah padanya. Butuh kekuatan dan keberanian untuk bersedia membagi rahasia tergelap kita pada orang lain. Kembali, semuanya tergantung bagaimana Anda menilai dan yang ditulis Dan Brown dalam buku ini.

Oh ya edisi hardcover yang saya terima berkesan dikerjakan terburu-buru. Agak berantakan lem yang ada di bagian depan. Mengingat pihak percetakan dituntut selesai dalamw aktu cepat, sepertinya hal tersebut masih bisa diterima.










Senin, 18 Desember 2017

2017#57: Jenang Bukan Dodol Ala Djoeroe Masak

Judul asli:Djoeroe Masak:Jenang Bukan Dodol #1
Penulis: Dyah Prameswarie
Editor: Ferrial Pondrafi
Desain sampul dan isi: Dian Nurwendah
Ilustrasi cover: Enrica Rinintya
ISBN: 9786029251388
Halaman: 148
Cetakan: Pertama-Juni 2017
Penerbit: Metamind
Harga: Rp 47.000
Rating: 3.5/5

Sering kali saya katakan bahwa sebuah buku kadang  berjodoh dengan pembacanya dengan cara yang unik. Salah satunya buku ini. Semula saya hanya ingin mencari sebuah buku tipis guna mengatasi kejenuhan membaca. Mungkin  berkesan aneh tapi begitulah adanya. Hiburan saya adalah membaca, namun ada kalanya rasa jenuh menghampiri, terutama jika buku yang bisa dibaca mengusung tema sejenis.

Daya tarik buku ini selain halamannya yang sedikit, ada pada kalimat "Jenang bukan dodol." Sebagai seseorang yang kurang paham (baiklah, tidak paham sama sekali) perihal masak-memasak, merupakan hal baru mengetahui keduanya merupakan jenis panganan yang berbeda. Kalimat tersebut membuat saya merasa mendapat sebuah pengetahuan baru, sebuah manfaat dari membaca.

Membaca blurb, saya menemukan kata "Fiksi Kuliner" Sebuah jenis kisah yang agak jarang ada. Makin membuat rasa penasaran. Mari kita coba "nikmati" racikan kata-kata dalam buku ini, apakah seindah tampilannya.

Begitu membuka halaman pertama, pembaca sudah disuguhi dengan gambar aneka alat memasak dengan latar belakang halaman serupa dengan kover. Sepertinya ini ada di setiap buku. Ilustrasi ini seakan menguatkan bahwa buku yang sedang dibaca berkisah seputar kuliner.

Makin terasa aura kuliner ketika memandang bagian yang memuat nomor halaman. Pada satu halaman diberi hiasan cantik berupa sendok, sementara pada  halaman lainnya diberi ilustrasi garpu. Keduanya diletakkan secara bergantian.

Secara garis besar, ceritanya bisa dikatakan biasa saja, ala kisah FTV (maksudnya para tokoh dibuat jatuh cinta dalam waktu dekat, sedikit konflik, diakhiri dengan bahagia). Tapi yang menarik adalah bagaimana penulis menjalinnya menjadi sebuah untaian kalimat yang enak dibaca. Plus membuat pembaca mendapat manfaat dari membaca kisah ini.

Seorang chef muda bernama Aidan mendapat pukulan keras dari para kritikus makanan karena gagal menyajikan jajanan tradisional saat pembukaan restorannya. Disaat  malu dan putus asa, Aidan menemukan cara membuat jajan tradisional di pasar  Yogyakarta. Semula ia hanya tertarik melihat aneka jenang yang ada di lapak Ibuk dan Sedayu.

Bahan-bahan Nagasari Versi Buku Ini
Aidan untuk pertama kalinya tahu bahwa candil juga termasuk jenang, Dan jenang berbeda dengan dodol (saya juga baru tahu!). Bagian selanjutnya yang menurut saya membuat kisah ini menjadi ala FTV. Ibuk, sang pemilik lapak jenang langsung setuju mengajari Aidan membuat aneka jenang atas dasar kasihan mendengar kisahnya.  

Ibuk bahkan menutup lapaknya hari itu khusus untuk bisa memberikan pelajaran memasak bagi Aidan. Padahal sekian lama berjualan, ibuk jarang tidak berjualan. Mau tak mau saya jadi merasa begitu istimewanya sosok Aidan bagi Ibuk. Walau memang masyarakat Yogyakarta dikenal suka menolong.

Selama proses belajar, Aidan menjadi dekat dengan Sedayu. Dalam waku satu minggu benih cinta mulai tumbuh diantara keduanya. Cinta memang begitu bukan? Datang dan pergi tanpa ada yang mengundang dan mampu menghindari. Urusan belajar memasak makin membuat Aidan bersemangat.

Ditengah kisah, konflik mulai muncul. Aidan mendadak meninggalkan Yogyakarta, meninggalkan Sedayu dan Ibuk begitu mendapat telepon dari seorang gadis bernama Alisha. Dalam pengamatan Sedayu, sepertinya tak pernah Aidan menolak telepon dari Alisha, kapan saja ia menelepon Aidan pasti akan menyambut dengan gembira. Sedayu diam-diam penasaran dengan sosok Alisha. Percik-percik cemburu mulai muncul.

Konflik utama muncul pada bagian akhir kisah. Aidan menemukan orang yang berada dibalik kekacauan pembukaan restorannya. Ternyata musuh utama bisa saja orang yang berada paling dekat dan paling kita percayai. Aidan mengajukan tantangan untuk adu memasak. Harga dirinya dipertaruhkan!
Bagian ini mengingatkan saya pada beberapa program memasak yang ditayangkan di televisi, misalnya Iron Chef. Untungnya sosok yang menjadi juri digambarkan melakukan penilaian dengan cukup adil. Tak dibuat ia begitu memuji Aidan, ada  masakan yang juga mendapat kritik. Pas rasanya.

Akhir kisah bisa ditebak, Aidan menang, Sedayu bersedia menjadi kekasihnya, sang ayah yang sempat kecewa berbalik mendukung dan  mengakui kehebatan Aidan dalam memasak. Pihak yang semula bertindak jahat mengakui kekalahannya. Akhir yang berbahagia bukan? Eh belum tentu, nanti kisahnya tamat dong ^_^.

Sempat juga merasa harusnya konflik dibuat lebih sedikit panjang sehingga lebih terasa unsur roman. Tapi kalau terlalu panjang bisa batal saya membeli buku he he he.  Hanya sepertinya porsi yang berisi resep masakan (diberi judul Menu dalam buku ini)  lumayan banyak juga, dari halaman 102-141. Sementara untuk bagian yang berisi kisah mendapat porsi sisanya. Paham maksud saya? Harusnya porsi yang berisi resep bisa dikurangi karena ini adalah novel bukan buku masakan.
Cara Membuat Nagasari Dalam Buku ini
Bagian awal yang diberi judul "Sepincuk Jenang Dari Penulis" justru lebih menarik bagi saya. Selain isinya menguraikan tentang proses kreatif penulisan buku ini, mulai dari awal ide muncul, pemilihan menu hingga ilustrator yang dipilih guna mensukseskan buku ini. Pilihan yang tepat! Penulis juga terbuka menceritakan bagaimana ia mendapatkan ide kisah.

Tapi buku ini memang banyak memberikan pengetahuan seputar kuliner bagi saya. Misanya bagaimana cara memasak santan yang benar, bagaimana membuat bumbu untuk mie godok. Saya yang tak bisa memasak jadi merasa tergugah untuk mencoba membuatnya. Buku ini mampu membuat pembaca merasa memasak adalah hal yang mudah.  Apa lagi aneka resep yang ada dibuat ala infografis, makin menambah nilai menarik.

Suasana pasar dimana Sedayu dan Aidan berbelanja, juga dapur dimana Ibuk menemani mereka belajar memasak digambarkan dengan sangat manis. Saya seakan menjadi orang ketiga diantara mereka. Ikut berbelanja ke pasar, dan menikmati saat menunggu pesanan.

Oh ya, saya juga mendapat jawaban rasa penasaran saya akan kalimat "Jenang bukan dodol." Bedanya memang sedikit, jenang lebih lembek, basah dan berminyak dibandingkan dodol. Dodol memang lebih keras dan kesat sehingga bisa dibungkus dengan kertas roti atau plastik.

Kalimat yang layak dikutip dalam buku ini adalah, " Fiksi kuliner adalah soal kisah di balik itu semua. Memadukan rasa dan tulisan menjadi sesuatu yang nyaman dibaca adalah tugas berat."

Lanjut borong buku selanjutnya ah....

Sumber Gambar:
Buku Djoeroe Masak:Jenang Bukan Dodol #1