Selasa, 21 Maret 2017

2017 #21: Kisah Kim Yeong Hye Menolak Daging




















Judul Asli : Chaesikju-uija (Korea)
Pengarang : Han Kang
Penerjemah: Dwita Rizkia
Penyunting: Anton Kurnia
ISBN:9786026486073
Halaman:222
Cetakan: Pertama-Februari 2017 
Penerbit : Baca
Harga: Rp 65.000
Rating: 4/5


....Kulihat ratusan bongkahan daging kemerahan yang digantung di tongkat bambu panjang. Darah merah yang masih belum kering menetes dari sebongkah daging yang tak berujung, tapi tidak kunjung menemukan pintu keluar. Baju putihku basah terkena darah.

Namun, aku ketakutan. Darah masih mengotori bajuku. Saat tak ada yang memperhatikan aku meringkuk bersembunyi di balik pohon. Tanganku berlumuran darah. Bibirku berlumuran darah....

Tak mungkin bisa sesegar ini rasa daging mentah yang kukunyah....

Apa urusan mawar dengan vegetarian? Pertanyaan itu yang muncul pertama kali dalam benak saya ketika melihat kover buku ini. Mungkin saya salah, tapi kesan yang saya terima itu adalah gambar mawar. Benak saya selama ini menerima simultan bahwa vegetarian identik dengan sayuran, makanan non hewani.

Maka jika ada buku dengan judul Vegetarian, maka yang saya bayangkan pada kover adalah aneka macam sayuran. Ternyata memang ada maksud tertentu dibalik gambar Mawar tersebut.

Sungguh unik buku ini! Tidak hanya dari kisah yang diusung, cara penyajian hingga kover.  Kisah dalam buku ini terbagi menjadi tiga bagian berdasarkan sisi pandang yang berbeda.

Bagian pertama, Vegetarian, dikisahkan dari sisi suami tokoh utama kisah ini. Bagaimana ia pertama kali menemukan istrinya tokoh utama kita, Kim Yeong Hye, suatu malam di bulan Februari terbangun karena bermimpi buruk. 
Versi Bahasa Swedi

Begitu terpengaruhnya ia akan mimpi itu sehingga begitu terjaga ia langsung mengosongkan isi lemari es. Semua daging dibuang tanpa peduli berapa harganya. 

Semula ia merasa sang istri hanya bereaksi berlebihan karena mimpinya. Namun segalanya menjadi mulai mengkhawatirkan ketika Kim Yeong Hye juga tidak mau memasak daging untuknya, bahkan tidak ada telur dan susu di lemari es.

Urusan sex juga terkena imbasnya. Kim Yeong Hye menolak berhubungan badan karena suaminya berbau daging! Serius, baca kutipan dari buku ini. 

     "Sebenarnya..."
     "Apa?"
     "Karena Bau"
     "Bau?"
     "Bau daging. Tubuhmu bau daging."

Aku tertawa terbahak.
     "Kamu tidak lihat tadi? Aku sudah mandi. Baunya dari mana?"
     Jawabannya serius, "Dari setiap pori-pori"

Selanjutnya melalui Tanda Lahir Kebiruan, pembaca akan mendapat kisah tentang kehidupan Kim Yeong Hye selama menjadi vegetarian. Kisah yang diceritakan dari sudut kakak ipar-suami kakaknya, membuat kisah ini  memiliki nuansa yang sangat berbeda dibanding bagian sebelumnya. 

Jika pada bagian pertama penuh dengan emosi sang suami, bagian ini justru penuh dengan kelembutan dan cinta kasih dari sang kakak ipar. Ternyata jawaban mengenai apa urusannya bunga dengan vegetarian ada di bagian ini. Saya tak mau membahas lebih lanjut mengenai bagian ini, baca sendiri dan nikmati sensasi penuh kejutan disetiap lembarnya.

Baiklah, supaya saya tidak disebut kejam karena membuat orang penasaran, ada sedikit bocoran. Kim Yeong Hye ternyata begitu menyukai segala hal yang berbentuk tumbuhan dan menikmati sinar matahari di kulitnya.  
Baginya telanjang lebih terasa alamiah ketimbang berpakaian. Ia Begitu menikmati tubuh dari pinggang ke atas terkena sinar matahari tanpa busana, tak peduli bagaimana tanggapan orang. Ia dan kakak ipar sama-sama menyukai bunga, terutama gambar bunga yang dicat di tubuh.

Pohon Kembang Api, bagian terakhir kisah ini.  membuat saya ingin memeluk kakak perempuan Kim Yeong Hye dan mengatakan segalanya akan membaik. Kuat dan tegarlah sebagai wanita karena ada seorang anak manis yang membutuhkan dirinya. Anak manis dan seorang adik rapuh tepatnya.

Bagian ini diceritakan dari sisi kakak perempuan Kim Yeong Hye. Sang kakak begitu mencintai adiknya. Ia berusaha memahami pikiran sang adik dan melakukan apa saja demi kesembuhan sang adik. 

Usaha yang sia-sia karena Kim Yeong Hye malah bertanya kenapa ia tak diperbolehkan mati. Ironi bukan, yang satu ingin menyelamatkan nyawa yang lain. Sementara yang ingin diselamatkan justru tak ingin selamat.

Bagi kedua orang tuanya, kelakuan  Kim Yeong Hye sungguh menyinggung harga diri mereka sebagai mertua. Ayah Kim Yeong Hye bahkan sampai meminta maaf pada menantunya-suami Kim Yeong Hye karena malu membesarkan anak yang tak bisa mengurus suami. Tamparan dan paksaan makan daging justru makin membuat parah kondisi kejiwaan Kim Yeong Hye.

Kim Yeong Hye, tokoh sentral yang menjadi benang merah ketiga bagian dalam kisah ini, benar-benar mampu membuat pembaca merinding.  Bukan upayanya menjadi seorang vegetarian yang akan pembaca temui dalam buku ini. Terlalu sederhana jika itu yang disajikan.  

Ini bukan kisah perihal pantang makan atau hanya mau makan jenis makanan tertentu, ini adalah kisah tentang psikologis seorang biasa yang mendadak berubah menjadi pribadi yang luar biasa aneh karena mimpi. 

Secara pribadi saya tidak menentang atau menganggap vegetarian merupakan hal yang buruk. Kembali pada individu masing-masing. Tokoh kita berubah menjadi sosok yang aneh bukan karena menjadi vegetarian, tapi karena obsesinya pada mimpi. 

Selayaknya buku ini dibaca oleh mereka yang ingin berkecimpung dalam dunia psikologi. Penulis dengan piawai membuat bagaimana kepribadian dan cara berpikir Kim Yeong Hye berubah total karena mimpi dan berdampak besar bagi orang terdekatnya. Secara langsung pada suami, kakak perempuan dan kakak iparnya, tak langsung pada kedua orang tuanya.  

Ia sudah tak peduli lingkungan sekitar, asyik dengan diri dan khayalannya sendiri.  Ia juga sudah begitu terobsesi dengan mimpinya hingga tak mau menjadi manusia yang terdiri dari daging dan darah, ia ingin menjauh dari segala hal yang bersinggungan dengan daging.  

Versi Bahasa China
Seperti yang tertera di halaman 15X, "Kak, aku berdiri dengan tanganku, daun tumbuh dari tubuhku, akar, mencuat dari tanganku ... Aku menancap ke dalam tanah. Tanpa henti, tanpa henti ... Uh, bunga ingin merekah dari selangkanganku sehingga aku harus melebarkan kakiku, mengangkang lebar-lebar... "

Pembaca ternyata juga disuguhi urusan percintaan yang terjadi antara tokoh dalam kisah ini. Tidak banyak, namun lumayan memberikan bumbu segar.

Jika yang diharapkan kisah cinta mendayu-dayu, lupakan saja! Tak ada dalam buku ini. Urusan percintaan diberikan untuk menjadi jembatan antara kisah, untuk menjadi pelengkap.

Bagaimana kehidupan sosial keluarga di Korea juga bisa kita ketahui dalam buku ini. Bagaimana sikap seorang ayah pada anak dan menantu, acara beramah-tamah dengan keluarga, sikap menghormati senior dan masih banyak lagi. Meski hanya sekilas namun cukup untuk dijadikan informasi bagaimana kehidupan masyarakat Korea.

Ada beberapa kekakuan bahasa dalam buku ini, mungkin karena alih bahasa yang cukup rumit. Meski begitu patut diberikan acungan jempol atas upayanya melakukan alih bahasa. Saya sempat ikut merasakan emosi meledak akan sikap amarah sang ayah, sedih dengan sang kakak dan merasakan hampa sang suami.

Kisah menawan dalam buku ini sudah mendapat ganjaran PEN Translation Prize Nominee for Deborah Smith tahun 2017 serta Man Booker International Prize pada tahun 2016. Tak heran jika banyak negara sudah menerbitkan versi terjemahannya.

Pada sebuah situs yang memuat aneka informasi, disebutkan bahwa vegetarian terdiri dari beberapa tingkatan. Mengacu pada uraian yang ada pada situs tersebut, maka  Kim Yeong Hye sudah termasuk dalam golongan Vegan, nabatiwan yang paling ketat. Mereka hanya mau bahan makanan dari nabati saja dan sama sekali tidak memakan hewan laut atau produk olahan hewani, termasuk madu dari lebah. Berikut tautannya.
Versi Bahasa Purtugis






Di tanah air, sudah ada IVS (Indonesia Vegetarian Society),  organisasi vegetarian Indonesia yang bersifat nirlaba, yang berdiri di Jakarta pada tanggal 8 Agustus 1998. IVS telah terdaftar menjadi anggota International Vegetarian Union sejak tahun 1999. IVS didirikan dengan tujuan untuk menyebarluaskan informasi seputar kehidupan vegetarian di Indonesia serta mengembangkan cinta kasih universal dan menyelamatkan kehidupan dunia melalui vegetarianisme

Selain perihal vegetarian, pembaca juga mendapat informasi  mengenai beberapa hal yang diduga dialami Kim Yeong Hye akibat akibat prinsip yang ia pegang. 

Bukan vegetariannya yang salah, tapi cara ia menyikapi mimpi lalu berupaya menjadi vegetarian yang membuat ia mengalami banyak hal, termasuk skizofrenia.

Menurut tautan berikut, Skizofrenia adalah gangguan mental kronis yang menyebabkan penderitanya mengalami delusi, halusinasi, pikiran kacau, dan perubahan perilaku.

Kondisi yang biasanya berlangsung lama ini sering diartikan sebagai gangguan mental mengingat sulitnya penderita membedakan antara kenyataan dengan pikiran sendiri.

Perihal mimpi Kim Yeong Hye membuat saya jadi teringat sebuah lagu tentang mimpi dari Nidji. Tahu kan lagunya ^_^. Salah satu syair menyebutkan bahwa mimpi adalah kunci. Demikian juga kasus Kim Yeong Hye, mimpinya adalah kunci penyebab timbulnya segala perubahan bagi dirinya dan orang sekitar.

Sebagai hiburan, yuk bernyanyi tentang mimpi yang berbeda. Biar tidak terlalu teringat dengan Kim Yeong Hye 

Sumber gambar:
http://goodreads

Sumber video:
https://www.youtube.com

Sabtu, 18 Maret 2017

2017#20: 1.600 Resep Masakan Nusantara

Judul asli: Mustikarasa Resep Masakan Indonesia
Penyunting: Tim Komunitas Bambu
ISBN: 9786029402698
Halaman: 1207
Cetakan: Kedua-Juni 2016 
Penerbit: Komunitas Bambu
Harga: Rp 400.000
Rating: 3.5/5

"Mbak, tolong bantu dong ke bawah," sebuah pesan singkat  dari sekretaris dekan masuk melalu YM (tebak tahun berapa coba^_^). Saya bergegas ke lantai dua tempat jajaran dekan berada. Pasti ada sesuatu yang penting hingga mereka meminta bantuan saya selaku Kepala Kesekretariatan.


"Ini prof sedang roadshow ke departemen sebelum puasa bersama jajaran dekanat. Tadi pesan agar disiapkan Es Shanghai untuk rombongan ketika kembali. Tadi kita sudah tanya ke Prof T apakah Es Shanghai itu, di mana belinya. Kata beliau ada Es Shanghai Blue di Restoran XXX, Kebayoran Baru. Sudah dipesan, mahal pula tapi begitu prof lihat katanya bukan itu. Kebetulan beliau harus ke ruang Dewan Guru Besar pesannya ketika beliau kembali harus sudah ada esnya. Beli dekat sini juga ada kok, kata beliau.  Tolong dong bantu mbak, cari es apa itu?" Langsung sekretaris dekan menyambut saya dengan cerita panjang lebar. 


Saya jadi ikut berpikir keras. Es Shanghai yang dijual di dekat sini apa ya? Kok rasanya pernah tahu. Hem..... Mendadak saya ingat pernah membaca  tulisan Es Shanghai pada menu yang terpasang di kantin FKG. Ada gunanya juga kadang jalan-jalan cari makan.


"Coba telpon kantin FKG, mbak. Tanya apakah masih ada Es Shanghai." Saran saya ke sekertaris dekan. Melihat wajahnya, jangankan hanya menelepon disuruh jalan langsung ia juga mau. Maklumlah bos kami yang satu itu selain sabar dan ramah juga  jarang punya keinginan, jadi jika ia menyebutkan ingin sesuatu semua pasti sangat ingin mewujudkanya.


"Alhamdullilah, ada. Saya sudah pesan 25 tapi katanya hanya ada 20. Lima lagi mereka rekomendasi Es Teler  yang juga segar. Saya setuju saja asal ada Es Shanghai. Penasaran seperti apa sih." Sekretaris dekan menyampaikan laporan setelah menelpon ke kantin. Wajahnya terlihat cerah tidak kusut lagi.


Terus terang saya juga jadi penasaran seperti apakah es yang membuat heboh siang itu, maka saya putuskan untuk menunggu hingga pesanan datang. Tak sampai 15 menit datanglah pesanan dalam plastik siap disajikan.  Segera saya dan dua sekertaris dekan mengambil satu  plastik yang katanya berisi Es Sanghai dan segera membuka.


Kami bertiga langsung tertawa. Isinya tak lain adalah Es Campur,  menurut kami.  Penyebutan Es Shanghai rupanya mengikuti zaman. Mungkin saja ada perbedaan isi namun kurang lebih isinya sama, ada buah-buahan dan es serut. Sementara Es Shanghai Blue yang pertama dibeli adalah cairan berwarna biru yang dicampur dengan beberapa potong buah. Jelas beda. Bergegas es pesanan ditata untuk disajikan.


Begitu melihat es yang dipesan dari kantin, pak dekan langsung berkata, "Ini ada es-nya. Beli dekat sini ada kan?"  Beliau langsung mengambil satu mangkuk yang dilahap dengan semangat. Udara panas siang itu semakin membuat es terasa nikmat. Kami yang melihat hanya bisa tersenyum simpul. 


Oh ya, nasib 25 Es Shanghai Blue tentu sudah pasti, masuk dalam perut kami dan beberapa teman he he he. Kebetulan juga ada tamu sehingga bisa dijadikan sajian. Prinsipnya tak boleh ada yang terbuang percuma. Sungguh, rasa segarnya jauh dari Es Shanghai versi pak dekan.


Adegan konyol tadi langsung kembali saya ingat, terpicu ketika membaca perihal resep Es Shanghai yang ada di buku ini.

Buku bantal ini merupakan hasil dokumentasi dan upaya penyelamatan  kekayaan warisan berbagai resep masakan yang berasal dari seluruh wilayah di Indonesia serta kaya pengaruh hasil silang budaya. Juga untuk politik pemertahaan pangan

Sebelumnya buku serupa diterbitkan oleh Depertanian Petanian pada tahun 1967. Penerbit Komunitas Bambu menerbitkan ulang dengan memuat perbaikan dari kekeliruan yang ada di terbitan sebelumnya. Kekeliruan yang ada berupa  perbedaan penyebutan nama menu atau makanan, bahan serta cara memasak yang kurang lengkap. Perbaikan bertujuan untuk menyempurnakan bukan untuk mengubah isi.
   
Dibuat sejak 1960 hingga 1966, secara garis besar buku ini terbagi menjadi  sembilan bagian ditambah dengan  catatan penyunting, pengantar, sambutan serta indeks. Perlu diingat, buku ini masih mempergunakan ejaan lama, demikian juga dengan terbitan kedua. Hingga perlu perhatian ekstra untuk mencerna kalimat yang ada.

Bagian  pertama berisi tentang proses memasak, dimana terdapat 9 esei dari pakar kuliner yang tidak ada dalam buku masakan lainnya.  Dari seputar bahan makanan, menyusun menu, istilah memasak, tata cara menyusun meja makan dan lainnya. Aneka gambar dan tabel guna mempermudah penjelasan juga ada dalam bagian ini. 

Esai berjudul Bahan Makanan oleh Harsono Hardjohutomo menguraikan mengenai masakan yang dihasilkan terbagi dalam empat golongan. Makanan utama yang berguna untuk menghilangkan lapar, lauk-pauk untuk menimbulkan dan menambah selera makan. Lalu ada djajan yang(maksudnya jajan) yang dimakan sepanjang hari sebagai hiburan serta untuk menambah zat-zat makanan yang tidak ada atau kurang pada makanan utama dan lauk-pauknya. Terakhir ada minuman untuk menghilangkan haus disamping menghibur.
 
Disebutkan juga mengenai bahan pembagian bahan makanan. Dimulai dari padi-padian, umbi-umbian, kacang-kacangan, kelapa, buah-buahan, sayuran, daging, air susu, telur, ikan, bumbu serta minuman. Tiap bagian  juga diuraikan lebih lanjut.

Sementara dalam Kimia Bahan Makanan oleh Dra Oey Kam Nio di halaman 71, menguraikan mengenai zat yang berguna bagi kehidupan dalam bahan makanan. Terdapat karbohidrat, lemak, protein, air, abu dan vitamin. Disajikan informasi juga dalam bentuk tabel yang mudah dibaca tentang kadar yang dikandung oleh bahan makanan. 

Saya yang tidak paham hal memasak jadi mengetahui aneka istilah memasak dalam esai Istilah-istilah Memasak oleh Surjati. Istilah yang ada menunjukkan bagaimana proses pembuatan sebuah makanan. Ada Dibesta, melapisi bahan makanan  sesudah digoreng atau dipanggang dengan gula yang sudah dilarutkan dalam sedikit air lalu dimasak hingga kental (hal 119). Ada juga dipanir, sepertinya serupa dengan memberi lapisan tepung sebelum masakan digoreng  dan dimarinir di halaman 121. 

Terdapat juga istilah yang menunjukkan golongan dari suatu makanan, sering diikuti oleh bahan baku masakan tersebut. Dadar telur dalam buku ini dibuat dari telur, tepung terigu atau parutan singkong. Bahkan saya menemukan bahwa ternyata ketupat pun beragam nama serta bentuknya. Lebih dari sepuluh nama dan bentuk ketupat bisa ditemukan dalam buku ini.  Keren ya!
 
Selain masakan, urusan  dapur terkait kebakaran juga mendapat perhatian dalam buku ini. Esai yang ditulis oleh Miftahul Ilmi, seorang Komandan Barisan Kebakaran Djakarta dengan judul "Mentjecah dan Mengurangi Bahaja Kebakaran" merupakan bukti keseriusan pemerintah mempersiapkan buku ini. Saat buku ini dibuat, memasak umumnya mempergunakan kompor minyak tanah yang dianggap sering menimbulkan kebakaran. Meski sekarang sudah jarang menggunaan kompor minyak tanah, tapi perlu kita perhatikan juga.

Selanjutnya bagian II berisi tentang masakan utama. Bagian III-VI memuat perihal lauk pauk basah berkuah, lauk gorengan dan lauk pauk bakaran. Bagian VII tentang sambal. Bagian VIII perihal Djajanan. Bagian IX, yang merupakan bagian terakhir memuat tentang minuman. Terdapat sekitar 1.600 resep dalam bagian tersebut.

Kita memang tidak akan menemukan daftar resep pada tiap bagian. Namun tak perlu khawatir, ada Indeks yang memuat nama resep berdasarkan jenis masakan dan halamannya. Banyak nama masakan yang mungkin jarang atau tidak pernah kita dengar, buku ini memperkaya pengetahuan kita seputar masakan.

Di bawah resep diberikan uraian mengenai masakan tersebut. Sambal Paluik dari Sumatera Barat sebagai contoh, diberi catatan bahwa sambal tersebut dibuat waktu memotong padi. Sambal Rusip  dari Palembang disebutkan untuk dimakan dengan lalap kacang panjang.
Saya jadi ingat pernah begitu penasaran mengenai perbedaan antara Gado-gado, Lotek dan Karedok karena novel Enigma (review di sini). Perihal Lotek  (Jawa Barat) ada di halaman 1018, disebutkan di sana Lotek mempergunakan kencur. Gado-gado mempergunakan telur bebek sebagai salah satu bagian masakan, sementara santan dipergunakan sebagai campuran untuk saus kacang.

Sayur Asem dan Serundeng  berasal dari Purwokerto, berikut kolak yang berbeda dengan yang disajikan di tempat lain. Opor Ayam yang sering disajikan saat Hari Lebaran disebutkan berasal dari Bogor. Ada juga masakan dari Timor di halaman 378, 382.

Istilah Djengki sering dipergunakan untuk menyamarkan Jengkol. Padahal di Jawa Barat ada masakan  dari tepung singkong yang diberi nama Djengki. Tepung singkong diaduk dengan air panas bersama gula pasir dan gula Jawa hingga liat. Beri garam secukupnya. Bentuk sesuai selera lalu goreng.

Ada satu masakan yang saya coba cari resepnya ternyata tidak ada. Entah memang tidak ada atau namanya beda. Di Solo, saya sering makan Kamar Bola. Lucu ya namanya ^_^ Persis serupa cap cai tapi kuahnya agak merah dan sayurannya lebih beragam.

Melihat aneka resep yang ada, sempat merasa tergoda untuk membuatnya. Apa lagi beberapa resep sepertinya sangat mudah dipraktekan dan jika membayangkan hasilnya, lumayan bisa membuat air liur menetes keluar. Tapi kembali, sadar diri. Biarlah para ahli saja yang mencoba meracik resep-resep yang ada dalam buku ini. saya lebih pakar urusan icip-icip.

Konon, masakan yang ada dikumpulkan dari berbagai daerah. Saya jadi agak bingung ketika menemukan kata Pasar Minggu sebagai asal resep di  beberapa halaman  seperti 208, 298, 326 serta 333. Jika menyebutkan Bandung bisa diasumsikan sebagai kota, sementara ada juga Jawa Barat.  Bukankah Pasar Minggu masuk Jakarta, kenapa tidak ditulis Jakarta saja.

Ilustrasi juga ada dalam buku ini. Namun jangan salah sangka bakalan menemukan ilustrasi masakan yang ditata cantik dengan warna menawan. Justru  ilustrasi dibuat dengan warna hitam-putih hingga menimbulkan kesan klasik. Yang disajikan juga bukan masakan utuh namun bisa bercampur, misalnya aneka sate dalam satu wadah.
 
Beberapa hal  mengusik rasa penasaran saya. Disebutkan bahwa Sukarno paling teh di halaman ix, apakah maksudnya paling menyukai teh? Sementara pada sinopsis di bagian belakang buku terrtulis, "...member basis...." Mungkinkah maksudnya "...memberi basis...." 

Bagi para pemerhati dan pekerja bidang kuliner, buku ini perlu dibaca dan miliki. Selain dapat menambah pengetahuan mengenai aneka resep masakan nusantara, juga dapat memberikan inspirasi untuk menciptakan kreasi menu baru dengan konten lokal. 

Sementara para penyuka sejarah, tentunya buku ini bisa dijadikan rujukan mengenai perkembangan masakan di tanah air. Aneka ilustrasi alat memasak yang ada dalam buku ini juga bisa dijadikan acuan mengenai perkembangan kehidupan sosial masyarakat di tanah air.


Sebuah kalimat yang layak diperhatikan ada di halaman xxxii.
"Memasak makanan dan menghidangkan masakan adalah suatu seni. Para pemasak mengabdikan diri pada indera dan hasil karyanja diuji setjara organoleptis, artinya dengan alat-alat pantja indera. Karena itu, penilaian tentang sesuatu masakan akan bergantung pada tadjam dan tidaknja indera jang dipakai oleh penilai. Sama halnja dengan lagu atau lukisan"
Jadi jangan sepelekan urusan memasak, karena filosopi yang terkandung dalam memasak bukan hanya sekedar menciptakan sebuah masakan untuk mengeyangkan perut. Namun juga untuk kesehatan, bertahan hidup,  merupakan penghiburan dan membutuhkan keterampilan sendiri.

Sumber gambar:
Buku Mustikarasa Resep Masakan Indonesia Warisan Sukarno



Rabu, 15 Maret 2017

2017 #19: Kisah Angan Senja Senyum Pagi

Penulis: Fahd Pahdepie
Penyunting:  Falcon Publishing
ISBN: 9786026051455
Halaman: 353
Cetakan: Pertama- Maret 2017
Penerbit: PT Falcon
Harga: Rp 85.000
Bintang 3.75/5

Apakah mengingat segalanya adalah sesuatu yang bisa membuat seseorang hidup bahagia?

Kadang, kita sulit melepaskan diri dari ingatan akan banyak hal, baik saat mengembirakan atau saat yang kurang menyenangkan. Belenggu kenangan terlalu kuat mengikat kita untuk bisa melangkah. Namun, cepat atau lambat kita harus memutuskan apakah akan membebaskan diri dari belenggu, melangkah maju atau hidup dalam kenangan semu. Atau...., mungkinkan ada pilihan lain? 

Matematika dan musik.
Keduanya memang sama-sama berupa angka, namun yang satu dinikmati dengan mempergunakan perasaan, sementara yang lain membutuhkan logika berpikir. Dua hal yang sepertinya berbeda namun memiliki kesamaan yang unik.

Begitu juga dengan sosok Angan Senja dan Senyum Pagi.  Meski baru kelas satu IPA, Angan merupakan jago matematika di sekolah, juara olimpiade.  Sosok pendiam dan kurang bergaul membuatnya menjadi siswa yang jauh dari kata  populer.

Senyum Pagi selalu tampil mempesona, percaya diri meski kadang gaya busananya kacau balau, sering salah kostum. Seluruh sekolah sudah sangat mengenal wajah anak kelas tiga IPS yang sering menghiasi sampul majalah remaja. The most populer girl at school.

Meski sangat berbeda kepribadian, keduanya sama-sama menyukai musik. Angan menikmati musik seperti ia menikmati angka-angka yang bergerak di kepala. Ia menikmati keindahan musik dengan logika. Sementara bagi Pagi, ia menyukai musik dengan perasaan. Suka ya suka, tak ada logika penjelasan. Pagi juga yang membuat Angan menyukai musik. Karena matematika dan musik keduanya menjalani masa SMA dengan seru.

Begitulah cinta. Datang tak diundang, pergi meninggalkan luka. Bermula dari bertemu tak sengaja di lokasi tersembunyi di sekolah, keduanya mulai merasa nyaman satu dengan yang lain hingga dari sekedar teman menjadi sahabat erat. Bahkan Pagi sudah sangat akrab dengan Ibun, ibunda Angan. Mereka sering menghabiskan waktu bersama. Perlahan, rasa nyaman mulai menjalar dan berubah menjadi rasa sayang. Pertemuan tak sengaja berubah menjadi pertemuan yang direncanakan di tempat favorit bersama.

Sungkan. Sepertinya kata yang tepat untuk menggambarkan situasi hati keduanya. Bahasa tubuh mereka sudah tak bisa membohongi banyak mata, ada sesuatu yang sedang terjadi. Hanya saja, rasa enggan membuat mereka saling meredam rasa. Hingga akhirnya mereka  harus berpisah.

Tapi bukan Fahd namanya jika tak mampu mengaduk-aduk emosi pembaca. Kisah Angan dan Pagi belumlah usai. Sesuatu hal membuat mereka bertemu kembali dalam situasi dan kondisi yang berbeda. Angan sekarang adalah pemilik perusahaan sukses yang menangani keuangan dan pajak korporasi,  sementara Pagi..., adalah Pagi dengan segala keunikannya he he he.

Dikisahkan secara bergantian dari sudut pandang Angan dan Pagi, pembaca akan menemukan banyak hal indah, mengharukan plus menyebalkan. Kekakuan Angan diimbangi dengan kecerian dan keluwesan Pagi, menjadikan keduanya pasangan dengan banyak kisah.

Kisah dalam buku ini seakan menjadi satu lagi pembuktian bahwa jarang ada persahabatan seorang pria dan wanita yang kekal menjadi sahabat selamanya. Kecenderungan yang juga digambarkan dalam kisah ini, persahabatan lawan jenis yang berubah menjadi sepasang kekasih. 

Ah, saya jadi ingat almarhum sahabat saya, yang kebetulan pria. Persahabatan kami sudah menjadikan dua keluarga besar menjadi satu. Jauh dari kata cemburu dan prasangka. Tapi tiap orang berbeda bukan? Jika sama maka tak akan ada kisah Angan dan Pagi ^_^.

Disamping urusan kisah kasih dua anak manusia, pembaca juga akan mendapat informasi yang cukup penting mengenai frekuensi dalam musik. Ada empat faktor penting yang menentukan frekuensi dalam bunyi: Ketebalan senar, kerapatan, panjangnya, serta ketegangan sena ketika dipasang pada alat musik. Masih ingat kata pitch control yang sering diucapkan oleh juri salah satu ajang menyanyi? Kita bisa menemukan penjelasan singkatnya di halaman 207-208


Baik Angan maupun Pagi sering menyebutkan mengenai infinity, konsep abstrak mengenai sesuatu yang tak ada batas dan relevannya. Bentuknya mirip angka delapan dalam posisi tidur. Belakangan simbol tersebut tidak hanya digunakan dalam hal yang terkait matematika saja, bahkan ada band dari Korea yang bernama sama. Simbol itu juga ada di punggung buku ini. Uraian mengenai hal tersebut bisa dibaca di link berikut.

Beberapa kalimat dalam buku ini mempergunakan bahasa Inggris serta bahasa Jawa, penulis memberikan terjemahan langsung berupa catatan kaki. Hal ini membuat pembaca bisa memiliki keseragaman pemahaman. Meski ada satu kalimat sederhana di halaman 42 yang sepertinya luput, I have great teacher. Padahal kalimat lainnya walau sederhana dan mudah dimengerti  juga diberikan terjemahannya. Saya nyaris tidak menyadarinya, jika bukan karena ketidakberadaan angka yang menandakan nomor catatan kaki di ujung kalimat tersebut.

Pada salah satu bagian, sahabat Pagi menyebutkan beberapa nama pemusik dan band yang mirip dengan yang ada di tanah air. Hal ini dilakukan guna memperkuat karakter Pagi yang menyukai musik dan segala hal yang berbau musik. Efeknya pembaca akan makin merasakan betapa besar perbedaan kepribadian antara Angan dan Pagi. 

Untuk urusan kover, pilihan yang bagus! Bahkan ilustrasi yang ada dalam buku memperkuat nuansa romantis tapi jauh dari rasa menye-menye. Bahkan sinopsis yang ada di bagian belakang buku bisa membuat pembaca terhanyut dalam perasaan romantis. Kisah cinta Angan dan Pagi menjadi kisah cinta romantis yang berkelas berkat racikan penulis.

Begitu membaca judul kisah ini, saya mengira  buku ini memuat kisah mengenai seseorang atau beberapa tokoh utama yang  mengalam nasib kurang baik dalam urusan cinta hingga berangan-angan kelak akan  bahagia dan dapat tersenyum. Angan Senja diumpamakan saat tokoh sedang mengalami masa kurang baik, namun ia tetap optimis dengan berharap esok hari bisa tersenyum, Senyum Pagi. Ternyata..., saya salah total he he he. Itu adalah nama tokoh dalam kisah ini. Begitulah, kalau sok tahu dan cepat mengambil kesimpulan kisah sebelum membaca sinopsis di bagian belakang. Baiklah, Fahd sukses mengerjain saya LAGI. 

Pada bagian akhir, Fahd menyebutkan bahwa nama tokoh yang ada dalam buku ini merupakan nama anak dari sahabatnya. Acungan jempol buat orang tua yang memberikan nama anaknya dengan cara yang unik seperti ini. Orang bijak mengatakan bahwa nama adalah doa, semoga apa yang diharapkan kedua orang tua melalui nama sang anak terwujud. Aamiin.

Sekedar menuntaskan rasa ingin tahu, di bagian belakang buku, terdapat dua endors dari bintang besar. Apakah kisah ini akan dijadikan film dengan pemain BCL dan Reza Rahadian? Mungkin saja. Profesionalisme keduanya dalam berkarya sudah tak diragukan lagi. Saya kok jadi membayangkan BCL menjadi Pagi. Dengan kepribadian yang tak jauh berbeda tentunya tak akan susah bagi BCL memerankan Pagi. 

Saya banyak menemukan lagu-lagu Dewa dalam buku ini, mungkinkah Fahd menyukai band tersebut? Hemmm, dari pada penasaran, sebaiknya kita menikmati salah satu lagi yang digemari oleh Angan dan Pagi.



Cinta Kan Membawamu Kembali - DeWA 19

Tiba saat mengerti, jerit suara hati
Letih meski mencoba
Melabuhkan rasa yang ada

Mohon tinggal sejenak, lupakanlah waktu
Temani air mataku, teteskan lara
Merajut asa, menjalin mimpi, endapkan sepi-sepi

[Reff]
Cinta kan membawamu,
kembali disini, menuai rindu, membasuh perih
Bawa serta dirimu,
dirimu yang dulu, mencintaiku, apa adanya

Saat dusta mengalir, jujurkanlah hati
Genangkan batin jiwamu, genangkan cinta

Seperti dulu, saat bersama, tak ada keraguan
http://www.metrolyrics.com/